“Melodi Putu Cangkir”
Di sudut kota Makassar, ketika senja menyiramkan warna jingga pada lautan dan deretan warung kopi mulai menyalakan lampu temaram, seorang lelaki tua bernama Daeng Ruslan duduk sendirian di beranda rumah kayunya yang sederhana. Matanya yang kosong menatap lurus ke depan, tidak mampu menangkap pemandangan indah senja yang sudah lama direnggut darinya. Sejak kecelakaan bertahun-tahun lalu, penglihatannya hilang. Hidupnya tenggelam dalam kegelapan, begitu sunyi tanpa istri dan anak. Daeng Ruslan hanya ditemani kesepian yang kian hari kian menggerogoti hatinya.
Namun, ada satu hal yang selalu membuat Daeng Ruslan menunggu setiap petang dengan sabar: suara pelan sepeda tua yang berderit, diiringi dentingan kecil dari lonceng, lalu suara mungil seorang gadis kecil yang berteriak lembut, “Putu cangkir… putu cangkir… panas, manis, lembut…”
Adalah Fitri, gadis kecil penjual putu cangkir, yang sering mampir di depan rumahnya. Fitri berumur sekitar sepuluh tahun, tubuhnya kecil dengan wajah yang menyimpan ketegaran hidup. Setiap sore, ia mendorong sepeda tuanya dari satu lorong ke lorong lain, menjajakan putu cangkir buatan ibunya. Bagi Fitri, ini bukan hanya soal mencari nafkah, melainkan juga membantu meringankan beban orang tua yang susah payah menghidupi keluarganya.
“Fitri, sudah datang?” tanya Daeng Ruslan suatu sore dengan senyum samar. Suara Fitri selalu membawa kehangatan yang berbeda, seolah menyelipkan cahaya di tengah kegelapan yang tak berujung.
“Iya, Daeng. Mau beli putu cangkir, kan?” Fitri sudah tahu kebiasaan Daeng Ruslan. Tiap sore, lelaki tua itu selalu membeli dua atau tiga potong, meski ia tahu mungkin Daeng Ruslan tak benar-benar ingin memakannya. Tapi gadis kecil itu tak pernah bertanya. Ia hanya menghargai senyuman lelaki tua yang selalu menunggunya.
Hari-hari berlalu. Semakin lama, percakapan mereka menjadi semakin akrab. Fitri mulai menceritakan hal-hal kecil tentang sekolahnya, tentang adik-adiknya yang suka berebut jatah makan, tentang ibunya yang kerap sakit-sakitan. Daeng Ruslan mendengarkan dengan seksama, tersenyum tiap kali Fitri tertawa kecil atau menghela napas pelan karena kelelahan.
Bagi Daeng Ruslan, Fitri adalah cahaya. Satu-satunya suara yang membuatnya merasa hidup kembali, meski untuk sementara. Ia mulai merindukan kehadiran gadis itu lebih dari sekadar untuk membeli putu cangkir. Ada rasa hangat yang menelusup di hatinya tiap kali mendengar langkah kecil Fitri, seakan gadis itu adalah cucunya sendiri. Tanpa disadari, ia mulai memendam rasa sayang yang lebih dalam, rasa yang ia tahu tak mungkin bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Suatu malam, entah siapa yang memulai, tersebarlah kabar burung di kampung mereka. Orang-orang mulai berbisik di sudut warung kopi dan lorong-lorong, menuduh Daeng Ruslan melakukan hal tak pantas pada Fitri. “Lelaki tua itu, bukankah aneh ia begitu tertarik pada gadis kecil?” bisik seseorang dengan nada mencibir.
Gunjingan semakin menghebat. Fitri yang awalnya tidak tahu apa-apa mulai dijauhi oleh teman-temannya. Orang-orang menganggapnya korban tanpa pernah benar-benar berusaha mencari tahu. “Kamu jangan lagi ke rumah Daeng Ruslan,” tegas ibunya suatu malam, wajahnya pucat ketakutan.
“Tapi kenapa, Bu? Daeng baik kok, dia nggak pernah berbuat apa-apa sama Fitri. Dia hanya beli putu cangkir,” sanggah Fitri dengan mata berkaca-kaca.
Ibunya tidak menjawab. Hanya saja, sejak saat itu, Fitri tidak lagi diizinkan mampir ke rumah Daeng Ruslan. Lelaki tua itu menunggu di berandanya setiap sore, tetapi tak lagi mendengar suara sepeda tua yang berderit di depan rumahnya, tak lagi mendengar lonceng kecil yang selalu ia nantikan. Daeng Ruslan menunggu dan menunggu, seperti seorang anak yang menunggu kedatangan orang tua yang tak pernah pulang.
Fitri, di sisi lain, tetap menjual putu cangkir seperti biasa, hanya saja ia tidak pernah lagi mendekati rumah Daeng Ruslan. Setiap kali melewati lorong itu, ia menunduk dalam-dalam, hatinya sakit mendengar desas-desus buruk tentang lelaki yang ia tahu tak pernah berbuat salah padanya. Gadis kecil itu ingin sekali berteriak membela, tapi siapa yang akan mendengarnya? Fitri hanya anak kecil, dan suara orang dewasa selalu lebih lantang.
Suatu sore, setelah berbulan-bulan lamanya, Fitri memberanikan diri mendatangi rumah Daeng Ruslan. Kali ini ia tidak menjual putu cangkir. Tangannya menggenggam sebuah bungkusan kecil, berisi tiga potong putu cangkir yang ia buat sendiri, khusus untuk lelaki tua itu. Hatinya berdebar saat mendekati beranda yang sepi.
“Daeng… Fitri datang…” ucapnya pelan.
Daeng Ruslan yang tengah duduk dengan kepala tertunduk, seketika mengangkat wajahnya. Meski matanya tak bisa melihat, ia langsung tahu siapa yang berdiri di hadapannya. “Fitri?” suaranya parau, seolah tak percaya.
“Maaf, Daeng. Fitri nggak bisa sering-sering ke sini lagi. Ini… Fitri buatkan putu cangkir, buat Daeng.”
Tangannya yang kecil menyodorkan bungkusan itu, tetapi Daeng Ruslan hanya bisa meraba-raba udara kosong. Fitri menangis dalam diam, menuntun tangan tua itu perlahan hingga menyentuh bungkusan yang ia bawa.
“Terima kasih… terima kasih banyak, Nak…” bisik Daeng Ruslan dengan suara bergetar. Ia menahan air matanya, tak ingin terlihat lemah di hadapan gadis kecil yang sudah begitu berani datang menemuinya meski semua orang mencemooh.
Setelah hari itu, Fitri tak pernah lagi datang. Senja berlalu satu demi satu, membawa Daeng Ruslan kembali tenggelam dalam kegelapan yang lebih pekat. Kabar buruk tentang dirinya sempat menghilang, namun noda di hati para tetangga tetap tertinggal. Tidak ada yang berani mendekatinya, tidak ada yang benar-benar peduli.
Daeng Ruslan tetap hidup, dengan kesepian yang semakin dalam. Satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan manis akan suara lembut gadis kecil penjual putu cangkir yang dulu selalu mampir tiap sore. Dan setiap kali ia mengingatnya, lelaki tua itu tersenyum sendiri, meski pahit.
Di ujung hidupnya, Daeng Ruslan menyadari, mungkin kesepian adalah satu-satunya teman sejatinya. Tidak ada yang bisa mengubah kabar burung yang pernah beredar. Tidak ada yang benar-benar mau tahu kebenarannya. Tapi bagi Daeng Ruslan, cinta yang ia simpan untuk Fitri adalah cinta yang murni, meski hanya bisa ia genggam dalam ingatan.
Seperti dentingan lonceng kecil yang hanya bisa didengar di hatinya, ia terus berharap suatu hari suara sepeda tua itu akan kembali, meski ia tahu harapan itu hanyalah ilusi yang akan membawanya pada malam tanpa akhir.
Judul MELODI PUTU CANGKIR
Penulis SPrawiro