Kau Campakkan Aku, Kunikahi Komandanmu

“Maaf Ning, tapi kayaknya kita nggak bisa lanjutin hubungan ini. Ibuku mau punya menantu seorang bidan atau perawat, supaya katanya ada yang bantu merawat Ibu di masa tuanya.”

Deg.

Bening, seorang gadis desa yang baru saja mendengar ucapan kekasihnya itu mendadak membeku.

“A-apa?” Bening menggumam. Ia merasa seperti mimpi. Kekasihnya, seorang pria yang amat ia cintai selama lima tahun terakhir tiba-tiba mengatakan itu kepadanya.

Wildan, sang kekasih yang telah berhubungan dengan Bening selama lima tahun terakhir menatap gadis itu dengan tatapan ragu. Karena tidak ada tanggapan sama sekali dari Bening selain gumaman keterkejutan itu, ia sendiri pun bingung harus mengatakan apa lagi.

“Maaf, Ning. Tapi, kamu pasti paham, ‘kan?”

Bening menatap Wildan. Sorot matanya tampak terluka. “Jadi, maksudnya gimana, Mas?”

Wildan menghela napas panjang. “Ya, begitulah.”

Bening mengepalkan telapak tangannya. Begitu? Begitu bagaimana? Selama ini, Bening sudah sangat sabar menunggu kejelasan hubungannya dengan Wildan. Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar dalam hubungan kekasih. Bening sudah mengharapkan segalanya, bahwa hubungan mereka akan lanjut ke jenjang yang lebih serius seperti yang telah mereka rencanakan selama ini. Namun, apa-apaan ini? Mengapa Wildan malah bicara begitu?

“Begitu bagaimana, Mas? Aku nggak ngerti,” balas Bening. Hatinya sudah hancur lebur, tetapi ia berusaha keras untuk tetap tegar di hadapan Wildan.

Wildan menatap Bening dan mengusap wajahnya sendiri. “Bening, aku yakin kamu paham maksudku. Apa iya aku harus menjelaskan secara detail?”

“Iya, kamu harus jelasin dengan detail, Mas. Aku nggak paham!” seru Bening. Napasnya mulai memburu. “Alasan kamu itu nggak jelas.”

“Kurang jelas apa lagi sih, Ning? Intinya, aku minta maaf karena hubungan kita nggak bisa dilanjutkan.”

Bening tersenyum sinis. “Semudah itu kamu mengakhiri segalanya, Mas?”

“Ini juga nggak mudah buatku, Ning,” sangkal Wildan.

Bening tersenyum kecut. Entahlah, ia merasa bahwa omongan Wildan itu sudah tidak ada artinya. Bagaimana mungkin Wildan tega mencampakkannya dengan alasan yang menurut Bening tidak jelas sama sekali. Rasanya, lima tahun ini sudah tidak ada artinya sama sekali.

Bening pun mendesah pelan. “Benar alasannya cuma karena itu?” tanyanya.

Wildan mengangguk.

“Kalau memang alasannya seperti itu, kenapa Mas Wildan nggak mutusin aku dari lama aja? Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar, Mas. Dan semuanya sia-sia. Rasanya aku kayak baru aja buang-buang waktu hidupku buat hal yang nggak penting.”

“Ning, kamu nggak bisa nyalahin aku gitu aja. Sudah kubilang, ini juga sulit bagiku.”

Bening langsung mengibaskan telapak tangannya di depan muka Wildan. “Terserahlah, Mas. Intinya kita berakhir, ‘kan? Haha, konyol banget. Tau gitu aku ambil beasiswaku dulu untuk kuliah. Kalau aja aku nggak nurutin omongan kamu waktu itu, sekarang aku pasti udah sarjana.”

Wildan mengerutkan keningnya. “Kok kamu malah nyalahin aku, Ning? Keadaan ini di luar kendaliku. Kalau kita bertahan, nantinya malah susah untuk kita berdua.”

“Ya faktanya aku nggak ambil beasiswa kuliahku dulu karena kamu nahan aku, Mas. Katamu, aku nggak usah kuliah aja karena kamu mau aku fokus jadi ibu rumah tangga nantinya, bukan jadi wanita karir. Kamu kira dapat beasiswa itu mudah kali ya? Dan aku mengorbankan itu semua demi menuruti kamu. Tapi sekarang apa yang aku dapat?”

Wildan ingin menyangkal ucapan Bening, tetapi ia urungkan. Bagaimana pun, memang ia sendiri yang dulu menahan Bening supaya ia tidak usah kuliah.

“Oke, aku minta maaf yang sebesar-besarnya soal itu. Aku mana tau kalau ke depannya bakal seperti ini, Ning. Kalau aku tau, aku juga nggak akan larang kamu buat kuliah. Semuanya udah takdir.”

Bening tersenyum tipis. “Takdir, hm… enteng banget kamu ngomong gitu, Mas.”

“Lantas aku harus apa, Ning? Aku nggak bisa melawan keputusan orang tuaku.”

Bening mengepalkan telapak tangannya. Ia juga tidak tahu bagaimana solusi terbaiknya, tetapi yang jelas ia sakit hati dan tidak terima. Semua ini rasanya seperti penghinaan besar untuknya.

“Terserah, kalau mau berakhir ya udah berakhir!” tegas Bening. Setelah itu, ia langsung pergi begitu saja meninggalkan Wildan.

“Ning! Bening! Hei… kita belum selesai bicara dan—”

Bening menulikan dirinya sendiri. Tidak penting bicara lagi. Poin utamanya sudah jelas, mereka selesai.

Meskipun tampak tegas dan lancar membalas ucapan Wildan di hadapan pria itu, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam ia benar-benar sakit hati. Dadanya sesak sekali sampai Bening ingin menangis dan meraung sepuasnya.

*

Usai berakhirnya hubungan Bening dengan Wildan, semalaman ia menangis di kamarnya. Kelopak matanya sampai sakit dan bengkak karena kebanyakan menangis. Ia merasa semuanya sia-sia, ia sudah membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak berarti.

Semalaman itu, kenangan-kenangannya bersama Wildan terus berputar di benaknya. Ia ingat betul bagaimana masa lalunya dengan pria itu. Mereka sudah saling kenal sejak masa-masa sekolah di bangku SMA. Bening adalah kembang desa yang menjadi incaran banyak lelaki bahkan juga duda-duda kaya di sekitarnya. Namun, Wildan adalah pemenangnya. Bening kira, segalanya akan berjalan lancar. Semua Impian menyenangkan yang sudah terpatri di kepalanya perlahan-lahan akan terwujud bersama dengan Wildan, pria yang amat ia cintai. Sayangnya, semua itu hancur berkeping-keping. Dan kehancuran itu justru disebabkan oleh Wildan sendiri.

Bening menggigiti bantalnya sendiri. Ia tidak mau tangisnya terdengar. Namun, hal itu justru membuat dadanya semakin sesak luar biasa.

“Kenapa… Kenapa jadi gini?” rintih Bening di sela-sela isakannya.

Semua penantian panjangnya berakhir dengan sangat mengenaskan. Bukannya happy ending yang ia dapatkan, tetapi ia justru disia-siakan dengan alasan seperti itu.

Bening bertanya-tanya, mengapa Wildan tidak mau memperjuangkannya? Mengapa terkesan Bening saja yang berjuang? Lima tahun bersama tentu tidak selalu berjalan mulus. Bahkan Bening rela mengorbankan beasiswa kuliahnya juga demi menuruti permintaan Wildan. Bening merasa itu adalah pengorbanan besar, tetapi mengapa Wildan tidak bisa mengorbankan sesuatu yang sama besar dengannya agar hubungan mereka tetap berjalan?

Bening menatap langit-langit kamarnya sendiri kemudian terkekeh miris. “Jangan-jangan, selama ini aku cinta sendirian?” gumamnya kepada udara kosong.

Entahlah, ia sudah benar-benar terluka sekarang.

Selama beberapa saat, Bening terpekur memandangi langit-langit kamarnya. Ia merasa kosong dan tidak tahu harus melakukan apa setelah semua hal menyakitkan ini. Namun, mendadak ia teringat sesuatu. Bening langsung bangkit dari kasurnya dan mengecek ponsel. Jemarinya menggeser-geser riwayat panggilan yang ada di ponselnya. Beruntung, ia tidak pernah menghapus riwayat panggilan sama sekali.

“Ah, ketemu.”

Bening teringat ia memiliki nomor komandannya Wildan. Waktu itu, Wildan pernah berkunjung ke rumah Bening lalu komandannya menghubungi. Sayangnya, ketika Wildan menerima panggilan itu, ponselnya malah macet padahal pembicaraan mereka belum selesai. Wildan panik, tetapi ia hafal nomor komandannya sehingga ia meminjam ponsel Bening untuk menghubungi ulang komandannya.

Sebuah ide nekat menghampiri benak Bening yang jiwanya sedang terluka. Ia tahu ini ide gila, tetapi ia tidak akan diam saja setelah semua yang sudah dilakukan oleh Wildan.

Bening menghapus sisa air mata di wajahnya dengan kasar, kemudian ia menyeringai tipis. “Baiklah, kalau memang kamu semudah itu mencampakkanku, aku bakal deketin komandanmu.”

*

Bening benar-benar merealisasikan rencana itu. Ia mengambil tabungannya kemudian pergi ke salon untuk meminta make over ke MUA professional. Ia tidak masalah meski harus membayar mahal untuk jasa make over ini, pokoknya ia harus kelihatan cantik tetapi juga alami. Banyak MUA yang bisa memoles make up, tetapi MUA yang bisa memoles make up tetapi juga tetap kelihatan alami tidak banyak. Itu adalah teknik yang sulit dan biasanya mahal.

“Ini mau digunakan untuk acara apa ya, Kak?” si asisten MUA bertanya.

Bening tersenyum. “Saya ada kencan sama kekasih saya, hehe. Tolong dandani secantik mungkin ya?”

Si asisten MUA tersenyum. Ia tidak tahu apa-apa bahwa Bening memiliki rencana besar. Sang MUA professional dan asistennya tidak terlalu mempermasalahkan selama pembayaran lancar. Maka Bening pun mulai didandani secantik mungkin sesuai dengan request yang ia katakan di awal.

Hampir dua jam ia didandani. Setelah selesai, ia menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin besar salon, lalu senyumnya mengembang lebih lebar.

“Bagaimana? Adakah yang perlu direvisi?” si MUA hendak memastikan.

Bening menggeleng. “Semua sudah sempurna. Terima kasih.”

Setelah selesai, ia langsung memotret dirinya sendiri secantik mungkin. Ada beberapa foto yang ia ambil. Lalu, ia memilih foto yang menurutnya paling cantik. Nomor komandannya Wildan sudah ia simpan terlebih dahulu. Ia langsung mengirimkan foto itu sembari menyematkan caption yang lumayan provokatif.

[Sayang, aku baru pulang kondangan nih. Kita kapan dong jadi mantennya?]

Terkirim. Bening tersenyum puas.

Hanya beberapa detik setelah ia mengirimkan foto itu, ternyata si komandan langsung membaca pesannya. Bening mengulas senyum semakin lebar.

 

Untuk Support Penulis,
kamu harus login dulu.

Pesan Buku Kau Campakkan Aku, Kunikahi Komandanmu