{Siapa pun yang mencuri karya ini untuk di-posting ulang demi keuntungan pribadi tanpa izin penulis dan platform, akan dikenai sanksi tegas dan denda sesuai pasal Hak Cipta. Paling penting saya sumpahi buntung!}
**
[Fem, lusa kan kamu nikah. Nggak ada rencana mau ngasih aku jatah nih, sebagai mantan terindah?]
[Emm, gimana yaaa?]
[Waktu aku mau nikah, kamu kan juga minta jatah. Aku oke-oke aja tuh? Sekarang kamu mau nikah juga harus ngasih jatah buat aku dong, hehe]
[Oke deh, tapi kamu yang ngurusin reservasi hotelnya yaa]
[Haha, siap. Ntar aku chat lagi yaa. Lofyu]
Aku mematut percakapan antara calon istriku dengan mantan pacarnya dengan sorot hampa. Walaupun aku tak banyak berharap soal kesuciannya, aku sungguh telah mencintainya dengan tulus.
Banyak hal dari dirinya yang mampu membuatku jatuh hati berkali-kali, tapi sepertinya, perasaannya untukku tidak sama.
Aku malah harus melihat isi chat seperti ini, padahal kami akan segera menikah.
Kutepikan hasrat ingin menghancurkan semua barang di depanku. Perasaan nyeri yang asing dan mengganggu ini, sebenarnya membuatku ingin segera menghubungi Femmy untuk mencaci-maki dirinya, lalu membatalkan pernikahan mewah kami yang akan diselenggarakan besok. Namun, jika hanya seperti itu, bukankah aku terlalu baik?
Aku memang sangat loyal, royal, dan murah hati kepada siapa pun yang kucintai. Tapi aku juga bisa bersikap seperti tak punya hati kepada siapa pun yang berani menginjak harga diriku.
Mereka perlu tahu siapa aku sebenarnya.
Setelah melakukan screenshot di komputer tempat aku menyadap chat antara Femmy dan mantan pacarnya yang telah beristri, aku segera memikirkan cara untuk memberi mereka pelajaran.
Mereka melakukan chat kemarin malam, berarti hari ini, mereka akan bertemu di hotel yang telah direservasi. Menyadap obrolan chat seseorang dan menunjukkannya pada khalayak merupakan tindakan tak bermoral, namun mungkin akan beda ceritanya jika status kami sudah suami-istri. Sayangnya, statusku kini dengan Femmy masih belum resmi.
Aku tak ingin risiko bumerang yang mengganggu.
Melihat chat terbaru mereka pagi ini, mantan pacar Femmy sudah memutuskan hotel mana yang akan dia sewa untuk melakukan ritual jatah mantan bersama Femmy. Sesuai dugaanku, mereka tentu saja memilih hotel tanpa bintang yang memiliki potensi kecil untuk mereka ketahuan telah melakukan pertemuan di sana.
Sebagai model sekaligus selebgram yang memiliki jutaan pengikut, Femmy tentu sangat berhati-hati dalam hal ini. Aku juga yakin dia akan memakai identitas palsu kalau-kalau pihak hotel meminta kartu identitasnya.
Dan kalaupun pihak hotel mengetahui rahasia tentang pertemuan Femmy dan mantan pacarnya, uang suap bisa membungkam segalanya.
Sejenak memejam mata, aku lantas bangkit dari kursi kuasaku. Lekas kulangkahkan kakiku menuju pintu ruangan, lalu membukanya dengan cepat.
Aksa, sang sekretaris multitalenta yang sudah menemani karierku selama 10 tahun di Red Wings Group ini, seketika beranjak dari kursinya. Dia menyambutku dengan pose tegap dan siap siaga.
“Ada yang perlu saya bantu, Bos?”
Selagi aku berkacak pinggang dengan tangan kiri, aku menggaruk kening dengan jempol kananku. Dengan sangat benci kuakui, aku tiba-tiba merasa sangat lelah.
“Aku butuh bantuanmu kali ini.”
Aksa, pria yang selalu tersenyum tanpa beban itu, langsung memiringkan kepalanya dengan mata berbinar penasaran. Pria gila kerja yang bahkan tak pernah mengeluh itu, pasti akan melakukan titahku dengan sempurna kali ini. Yah, seperti biasa.
“Pergilah ke hotel Venus sekarang. Femmy dan mantan pacarnya akan bermalam di sana.”
Wajah Aksa berubah. Kembali dia tegapkan kepalanya, menatapku sambil berkedip.
“Eh?”
**
Pesta resepsi akhirnya digelar. Femmy memilih dekorasi paling elegan dan megah, semata-mata untuk membuatnya terlihat seperti permaisuri sungguhan di dalam dongeng istana. Aku menyanggupi semua rengek manjanya tanpa ragu. Demi bisa memilikinya secara lahir dan batin, aku telah melakukan banyak hal hanya untuk menyenangkan dirinya.
Sebenarnya apa, yang membuatku sempat tergila-gila padanya?
Apa hanya karena pesonanya sebagai seorang wanita dengan karier gemilang? Atau karena sikap manjanya yang kadang-kadang juga tegas di beberapa waktu?
Aku tak mampu menerka-nerka lagi. Sekarang semuanya sudah hambar, seolah-olah segala emosi yang kumiliki telah direnggut paksa dariku.
Meskipun sejak kecil, aku bukanlah orang yang pandai mengekspresikan emosi, sebenarnya kemarin rasa-rasanya aku ingin berteriak sekeras mungkin di halaman rumahku. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, bukankah Tuhan masih baik padaku?
Akan sangat, sangat, sangat merepotkan jika aku dan Femmy telanjur menikah. Ketika nanti Femmy memiliki anak, dan aku baru tahu bahwa anak itu bukanlah anakku, aku tak akan mampu mengukur sedalam apa nantinya aku akan patah hati.
Sekarang, biarlah aku dipaksa menelan pil pahit ini. Segala kerugian yang saat ini kudapatkan tidaklah sebanding dengan kehancuran yang akan kudapatkan jika kami benar-benar menikah.
“Perhatian, hadirin sekalian. Pengantin wanita akan segera tiba.”
Seruan MC membuat semua tamu menghentikan obrolan mereka. Pintu ballroom terbuka, dan Femmy masuk bersama dayang-dayangnya.
Gaun putih yang dia pilih waktu lalu, dia kenakan dengan bangga hari ini. Dia terlihat cantik dan menawan meski sanggul rambutnya terlihat sederhana. Meski riasannya tipis, itu justru terlihat mengimbangi keanggunan gaun tanpa lengan yang dia pakai.
Dia menawan sejak lahir. Tak terhitung berapa kali aku harus cemburu setiap kudengar semua orang memuji pesonanya, dan dia selalu mengatakan bahwa itu sudah menjadi risikoku memiliki calon istri yang dikagumi oleh semua orang.
Saat dia tersenyum padaku seperti yang saat ini dia lakukan, seharusnya aku merasa bahagia. Seharusnya aku merasa tak sabar menunggu dirinya sampai dan duduk di sampingku, di hadapan penghulu dan ayahnya. Namun, melihatnya masih bisa tersenyum lebar setelah apa yang dia lakukan di belakangku, aku kian bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah selama ini aku telah menghabiskan waktu dan materi hanya untuk membahagiakan wanita bermuka dua seperti dirinya?
Jarak kami telah dekat. Melihatnya tersenyum penuh haru padaku, aku hanya bisa tersenyum hambar. Segera aku melangkah menghampirinya. Ketika aku mengulurkan tangan, Femmy secara refleks hendak menyambut tanganku.
Kulihat ekspresinya berubah begitu aku berjalan melewatinya. Aku berhenti di depan perempuan yang sejak tadi menunduk di belakang Femmy; melakukan tugasnya sebagai dayang-dayang yang membawa ekor gaun saudari seayahnya—yang selama ini dia layani layaknya nona.
Suasana seketika hening. Perempuan dengan gamis dan hijab yang berwajah murung itu, sontak mendongak dan terkejut begitu menyadari diriku malah mendatanginya alih-alih mendatangi Femmy, sang pengantin yang sebenarnya.
“Menikahlah denganku, Sahara. Kamu kupilih jadi pengantinku hari ini.”