Hitam di Atas Putih

“Udah nggak bersisa lagi tabunganku, Za, mana lagi koas,” ucap Ifa—mahasiswi kedokteran yang mandiri sejak kedua orang tuanya tiada.

“Tinggal di kosanku saja dulu, Fa,” balas Cut Liza—sahabatnya di fakultas yang sama.

“Nggak ah, makasih Za, aku sudah banyak ngerepotin kamu. Hmm, sebenarnya ada sahabat mendiang papaku, nawarin mau bayarin semua kuliaku sampai selesai, tapi ….”

“Tapi …?” Cut Liza ikut mengulangi.

“Tapi, aku harus mau menikah dengan putranya.” Ada keragu-raguan di sorot mata sang calon dokter cantik itu.

“Kok kayak ragu, dia nggak ganteng?”

Latifa mendongak. “Ganteng sih, tentara batalyon dekat RST, tapi dia … SOMBONG!”

Tawa Cut Liza membahana. “Dia belum tahu aja siapa Ifa—mahasiswi paling favorit di kampus, cantik, calon dokter lagi!”

Latifa menyilangkan tangannya di dinding lorong rumah sakit. “Dia juga udah punya pacar, Za.”

Mata sahabatnya berkilat. “Nah, kamu lebih diuntungkan lagi tuh. Nikah aja sampai koas selesai, dia nggak bakal nyentuh kamu karena si tentara sombong itu udah punya pacar.”

Jemari Latifa menjentik. “Benar juga, ini sangat menguntungkanku. Eh, tahu nggak apa komennya setelah melihat fotoku?”

“Apa?”

“Katanya aku cewek kampungan,” ujar Latifa seraya menutup tangannya menahan tawa.

“Emang foto apa yang kamu kirim ke dia?”

Wajah Latifa memerah karena tertawa. “Fotoku abis cuci piring di acara hajatan saudara, pas itu pakai baju kurung, lengan tergulung asal-asalan, wajahku juga kucel banget. Sengaja sih, biar dia nggak menyukaiku.”

Gelak tawa Cut Liza ikut menambah riuh lorong rumah sakit. “Dia bakal kaget saat tahu seperti apa calon istrinya, dasar cowok! Don’t judge a book by its cover.”

Gelak tawa keduanya terhenti saat dokter senior menghardik. “Heh, Dokter Koas! Jangan berisik, ini rumah sakit!”

Latifa dan Cut Liza mengubah sikap. “Mohon maaf, Dok.”

“Kabur, Fa!”

“Iya, Liza, kembali ke pasien!”

**

Februari 2004

Akhirnya Latifa menyetujui perjodohan dengan seorang tentara bernama Yogi, tanpa pernah bertemu, mereka hanya berkomunikasi di telepon beberapa kali dan juga melalui calon mertuanya.

Di sela-sela kesibukkannya sebagai dokter koas, pikiran Latifa terbagi pula dengan pengurusan pernikahan dinas. Untung saja dalam hal lainnya, calon mertuanya banyak membantu, sedangkan sang calon mempelai pria terkesan cuek dengan pernikahan ini, alih-alih memang dia sedang tugas di luar pulau.

“Liza, kalau aku dicari Dokter Amber, bilang aku lagi ada urusan di kampus, ya!” ujar Latifa dengan terburu-buru, jas dokternya pun dilipat asal, berkali-kali ia menengok arloji.

Semoga nggak telat!

Dengan ojek, Latifa berangkat ke batalion calon suaminya untuk mengikuti rangkaian pernikahan dinas tahap selanjutnya. Menikah dengan seorang prajurit bukan dibilang mudah, calon istri harus melalui tahapan-tahapan pengurusan dokumen, SKCK, periksa kesehatan, juga mengisi banyak sekali soal-soal persis sedang mengikuti seleksi kerja saja. Sialnya, karena Yogi sedang tugas, ia harus mengurus seorang diri.

“Permisi, Om, mau kumpulin sampul D dari Kodim sudah jadi, di mana?” Peluh keringat membanjiri pelipis sang calon dokter yang datang terburu-buru.

“Masuk aja di dalam, Mbak. O ya, calonnya mana?” tanya tentara berkumis lele yang sedang berjaga di pos.

“Calon saya sedang tugas, Om.”

“Oh, gitu. Mau saya temanin, juga nggak pa-pa, Mbak,” ucapnya percaya diri.

Gadis berambut panjang yang sedang dicepol itu sontak melongo. Latifah membaca nama dada di seragamnya. Kasino? Ganjen banget ini si om!

Senyum datar ditampakkan Latifa di wajah cantiknya. “Permisi dulu, ya, Om.”

Kabur!

Tiba di ruangan, Latifa mengumpulkan sampul D ke prajurit yang bertugas.

“Setelah ini saya ngurus apa lagi, Om?” tanyanya dengan raut lelah. Sejak kemarin rute RST-kampus-kodim-batalion sudah jadi santapan sehari-hari sejak awal bulan ini.

“Saya bikinkan surat pengantar, ya, Mbak, untuk rikes di RST.”

Lagi-lagi Latifah melongo. “Di mana, Om?”

“RST.”

Lemes. Wajah Latifa pucat karena RST tempatnya koas. Dia berniat menyembunyikan pernikahannya dari teman-temannya.

Kenapa harus ke sana? Gawat, teman-temanku jadi tahu nih kalau aku mau nikah!

“Om boleh nggak rikes di rumah sakit lain?”

“Emang kenapa, Mbak? Punya catatan buruk, ya, di RST? Mungkin pernah ngerusak fasilitas rumah sakit?”

Tangan Latifa melambai mengisyaratkan penolakan. “Eh, nggak, Om. Masa saya ada tampang kriminal begitu!” protesnya.

Prajurit yang diajaknya ngobrol hanya tertawa. “Bercanda. Pokoknya harus di situ, ya, Mbak.”

Latifa mendengus dengan wajah frustrasi. “Baiklah,” jawabnya tak bersemangat.

Tahu repot begini nikah sama tentara, nggak jadi aja deh nikahnya!

**

Malamnya, Latifa menelepon calon suaminya—Yogi. Seperti biasa, hanya nada dingin yang diterimanya, tak banyak lagi obrolan, calon suaminya itu hanya menginformasikan poin-poinnya. Tentara muda itu berkata kalau setelah rikes biasanya ke batalion lagi letsus, kemudian ke korem letsus juga, serta wawancara dan menjawab 30-an soal esai. Tak hanya sampai di situ, masih pula menghadap ke bintal untuk mengisi 50-an soal esai tentang keagamaan dan kepribadian.

Mata Latifa melotot. Gila, repot amat nikah ama tentara sombong ini!

“Capek, ya?” sindir Yogi di telepon. “Nyerah aja.”

Gadis berbulu mata lentik itu tersulut emosinya. “Eh, Mas, aku menerima perjodohan ini juga terpaksa, ya!” Tangan lembutnya membanting keras gagang telepon. Tanpa sadar, petugas penjaga wartel sudah berdiri di belakang dengan tampang kecut dan alis naik seperti gagang tali ember.

“Banting aja terus, Mbak!” sindirnya keras. “Kalau perlu bakar aja wartel ini.”

Latifa mengulum bibir. “Maaf, Bude.”

“Bude, bude! Saya masih muda!”

“Oh, berapa umurnya?”

“Masih 26 tahun!”

Latifa manggut-manggut. “Oh masih 26, tapi boros ya mukanya,” ucapnya polos membuat petugas wartel semakin murka.

“Udah, bayar cepat! Besok-besok nggak usah nelepon lagi di sini!” teriaknya melengking.

Buru-buru Latifah membayar seraya menutup kuping.

Apes banget aku hari ini!
Kalau ingat besok mau rikes di RST, aduh!

**

Keesokan harinya, Latifa pagi-pagi sudah sampai di RST, dia merangkap baju hijaunya dengan jas dokter alih-alih koas.

Mengendap-endap gadis berbulu mata lentik itu mendaftar dan mengambil nomor antrean sampai akhirnya tepukan di bahu mengagetkannya.

“Ifa, mau ngapain kamu?”

Latifa menoleh lalu meneguk ludah seraya menyembunyikan nomor antreannya.

“Mau lihat-lihat, Dok,” ngeles si calon dokter padahal ia sedang mengambil antrean untuk rikes sebagai syarat nikah dinas.

“Ngapain lihat-lihat orang mau rikes? Kurang kerjaan.” Dokter berkacamata tebal itu melirik ke pasangan abdi negara yang bermaksud untuk rikes. “Masih muda-muda udah pada nikah!” omelnya. “Harusnya berkarier dulu, mapan dulu suami istri, baru nikah.”

Tajam mata dokter senior itu menatap Latifa. “Jangan contoh mereka, Fa, kamu harus jadi dokter spesialis dulu baru nikah!”

“Siap, Dok,” jawab Latifa dengan tangan gemetar.

“Aku kasih nilai buruk praktikmu kalau kamu nikah cepat-cepat!”

Latifa menatap takut-takut ke Dokter Amber—dokter RST yang terkenal galak segalak babon ayam yang lagi bertelur. Dia semakin kalut, apalagi dokter berkacamata itu membahas karier. Sadar diri, Latifah kan juga masih kuliah, meski sudah di tahap koas.

Saat Dokter Amber berlalu, Latifa baru bisa bernapas lega. Kepalanya muncul kembali di meja resepsionis. “Mbak, Dokter yang bertugas menangani rikes siapa?” tanyanya basa-basi.

Semoga Dokter Isabel, friendly orangnya.

Petugas menujuk cepat. “Ya, dokter yang tadi itu, Dok,” jawabnya santai.

Mata Latifa mendelik kaget. “Dokter Amber?”

“Iya, Dok.”

Serasa ditimpuk panci, seketika Latifa berjongkok dengan mimik mau nangis.

Habis aku!

Bersambung

 

Yogi kalau tahu siapa Latifa, gimana sikapnya ya? 😊

Suka ceritanya? Tinggalkan komen dan love ya biar author up lagi besok. ❤

 

Untuk Support Penulis,
kamu harus login dulu.

Pesan Buku Hitam di Atas Putih