Halaman
191
Tanggal Terbit
2009
ISBN
9789791915441
Penerbit
ANPH
Dia dan istrinya cuma orang kecil. Mereka hidup seder- hana sekali. Tapi rumah besar yang diwariskan nenek pada anak satu-satunya, lalu menurun padanya, sering meng- aburkan mata.
Meski begitu dia tak hendak mengubah pandangan orang, karena satu prinsip. Bapak yang menanamkannya, hingga mengakar kuat dan menjadi sikap.
“Kita memang bukan orang kaya, Man! Kita pun tak miskin. Tapi jangan sekali-kali kesusahan yang ada di rumah ini…”
Ia ingat Bapak mengarahkan tangannya pada sudut- sudut rumah dan berakhir di dada Oman, matanya me- mandang tajam bocah sepuluh tahun itu.
“Jangan sampai kesusahan yang ada di rumah ini di- ketahui orang! Itu prinsip, Man!”
126
EMAK INGIN NAIK HAJI
ASMA NADIA
127
Selesai ucapan Bapak, Ibu mendekatinya, mengelus rambut anak satu-satunya itu, lalu mereka mulai me- nyantap makanan di meja dalam temaram. Hanya lampu teras yang dinyalakan dan membawa terang ke meja makan.
Tidak perlu orang luar tahu, selama ini mereka ke- walahan membayar listrik untuk rumah sebesar itu. Tidak perlu. Seperti juga orang kampung tak perlu tahu kalau sehari-hari hanya nasi, serta sayur bening, yang terhidang di meja makan besar milik mereka.
Yang diketahui orang-orang di kampung, Bapak, Ibu dan Oman selalu makan ayam dan telur tiap hari. Bukankah mereka memelihara beberapa ayam di belakang rumah?
Barangkali tidak ada tetangga yang berhitung, berapa besar penghasilan dari beternak ayam yang beberapa ekor itu, untuk menutup kebutuhan mereka setiap bulan.
Penyakit diabetes Bapak, yang mengakibatkan sebelah kakinya diamputasi, sanak saudara yang relatif jauh atau bisa dibilang tidak ada, membuat hasil dari menjual telur atau ayam sebagai sandaran hidup satu-satunya.
Tapi sekali lagi ucapan itu terdengar, “Betapa pun susahnya kita, Man. Tetangga tidak perlu tahu.”
Suara Ibu teduh, saat Oman menangis karena kaus dalamnya yang sobek-sobek, terlihat jelek dalam seragam putih sekolahnya. Setelah beberapa kali ditisik, hingga tidak mungkin dipakai lagi, ia pun memilih ke sekolah tanpa kaus dalam. Biarlah guru-guru mencap dia anak bandel. Itu lebih baik daripada dicap miskin.
Oman ingat, Ibu tidak pernah keluar rumah kecuali memakai pakaian terbaik yang perempuan itu punya. Hanya ia dan Bapak yang tahu bahwa baju-baju Ibu, se- betulnya bekas pakaian Nenek waktu muda atau pakaian lama yang dimodifikasi di sana-sini. Dipotong agak pendek, disambung dengan sedikit kain biar baju atau rok terlihat panjang dan variatif, diberi renda, dipadupadankan dengan yang lain. Hasilnya? Ibu selalu terlihat cantik dan rapi. Begitu pun Bapak jika sesekali keluar. Mereka harus terlihat rapi, bersih, dan mapan.
Ketika Oman menikah, awalnya tidak mudah bagi istrinya untuk melakukan tradisi turun temurun dari keluarga. Saat itulah Oman tahu ibunya orang hebat. Sampai Ibu meninggal, mereka tidak punya pembantu untuk mengurus rumah besar dengan halaman belakang yang luas itu. Ibu mengerjakannya sendiri. Perempuan itu tidak tega menyempitkan hati Bapak, atau merampas waktu belajar anaknya. Istrinya? Tentu berbeda sekali. Karenanya ia pun mengerti dan tidak banyak menuntut. Kecuali satu itu.
yang
“Betapapun kita susah, Sri. Orang luar tak boleh
tahu.”
“Bagaimana dengan Ayah dan Emak? Lalu adik- adikku yang tujuh orang itu?”
Oman, yang biasa hanya sendiri, tidak begitu siap mendengar jawaban istrinya, tapi lalu memutuskan untuk membuat pengecualian.
128
EMAK INGIN NAIK HAJI
ASMA NADIA
129
“Kecuali kepada Ayah dan Emak, Sri. Tapi mereka pun, apalagi adik-adikmu, sebaiknya tak perlu tahu kalau kita kesusahan. Bukankah hanya menambah pikiran mereka saja?”
Sri tampak tepekur beberapa lama. Tapi ketika dia mengangguk, Oman bersyukur dalam hati. Kiranya tak salah ia memilih Sri, perempuan berkerudung, yang sederhana dan jauh dari cengeng.
Demikianlah. Hidup Oman dan istrinya mengalir begitu rutin. Seperti rel kereta yang bisa ditebak arahnya. Ia bekerja sebagai penulis lepas dan sesekali diminta menjadi koresponden beberapa media. Kesedihan, kesusahan, hanya milik mereka berdua. Kegembiraan pertama yang dirasanya luar biasa adalah ketika baru-baru ini Rahman, anaknya lahir.
Lalu sampailah kejutan yang meledakkan orang se- kampung, bahkan famili jauh mereka sekalipun. Awalnya Oman tidak mengira reaksi orang-orang akan sedahsyat
itu.
Telepon yang selama ini jarang berdering dan tak banyak mereka pakai, kecuali bila sangat penting, tak henti- hentinya berbunyi. Tetangga yang jarang menegur, tiba- tiba lebar pada mereka. Bahkan Pak Lurah yang tak pernah mengenalnya, tiba-tiba menjabat tangannya hangat.
tersenyum
Apa pasal?
Foto Oman terpampang di koran. Tentu kalau hanya sekedar foto, tidak akan mengundang reaksi seluar biasa itu. Tapi dalam foto itu, Oman memegang sebuah papan besar yang bertuliskan: “Sepuluh Juta Rupiah!” Benar- benar sepuluh juta. Foto yang besar itu menampakkan tujuh angka nol sesudah angka 1 di depan, dengan sangat jelas.
Oman, penulis yang tak pernah dianggap orang penting itu memenangkan lomba kepenulisan nasional dan mendapat hadiah sepuluh juta rupiah!
Uang sebanyak itu akan dipakai untuk apa oleh Oman?
“Belanjalah. Apa lagi? Belanja sampai puas!” “Tidak. Mereka tak terlalu suka belanja,” sahut lain di toko Encik pedagang sembako.
yang
“Mungkin dia pakai untuk membeli motor baru meng- gantikan motornya yang jelek itu.”
Sambil mengibaskan tangan, lelaki yang giginya hanya dua dan tampak kepayahan mengunyah keripik singkong pedas itu, menimpali, “Tak mungkin Oman mengganti motornya. Biar jelek tapi motor itu bagus mesinnya dan hadiah dari ibunya dulu. Bersejarah. Oman sendiri yang bilang padaku.”
“Pasti dibelinya perabot bayi yang mewah-mewah. Empat tahun menikah baru bisa punya anak. Mestilah di- manja betul anak itu.”
130
—
EMAK INGIN NAIK HAJI
ASMA NADIA
–
131
Tapi beberapa hari berlalu, tak satu pun tetangga yang melihat Oman dan Sri menenteng perabot bayi atau tas plastik besar berisi keperluan bayi. Berbagai dugaan di kembali bergulir. antara orang
desa
pun
“Barangkali ditabungnya. Deposito kan bunganya lumayan.”
“Mungkin Oman dan Sri ingin memakai uang se- banyak itu untuk merenovasi rumah besar mereka. Rasa- nya cat bangunan itu sudah perlu diganti.”
masih putih bersih. Belum perlu! Bodoh kalau “Catnya dipakai beli cat!”
“Pasti dipake Oman kawin lagi! Namanya lelaki… ya, tidak?”
“Sembarangan! Oman bukan tipe lelaki seperti kamu
tahu!”
“Lantas?”
“Jalan-jalan ke Bali?”
“Nanti kena bom! Haha…”
“Huss! Harusnya kamu mengampanyekan keadaan negeri yang tentram dong. Bukan malah pesimis begitu.” “Aku rasa, kenapa Oman tak memakai uang itu, barangkali dia takut kita minta bagian!”
“Yak, betul itu!”
“Padahal apa salahnya dia bagi-bagi rezeki sama orang kampung kita? Ya, enggak? Bikin kek pertunjukan layar tancap dua hari dua malam. Kan, bisa?”
“Atau wayang golek semalam suntuk! Ingat tidak pesta pernikahan besar yang digelar di sana waktu Oman me- nikah?”
“Tentu! Tak ada yang bisa lupa itu.”
“Atau ganti TV kelurahan yang masih hitam putih! Berapa, sih?”
“Ahh, memang pelit si Oman dan Sri itu!” Pembicaraan di luar rumah putih berpagar tinggi itu, bukan tak sampai ke telinga Oman dan istrinya. Hanya saja mereka tak tahu harus bersikap bagaimana. Bahkan uang sepuluh juta yang dinanti-nanti, belum juga turun meski sudah dua pekan sejak penyerahan simbolis itu. Apalagi biasanya ada pajak lumayan besar yang harus ditanggung penerima hadiah.
Jadi, ia belum bisa menjawab pertanyaan Sri sore tadi. “Kira-kira cukup tidak ya, Pak?”
Genap pekan ketiga, barulah Oman tahu bahwa hadiah itu benar adanya dan bukan mimpi. Itu setelah ia mengecek rekening di bank. Ada penambahan luar biasa di saldonya. Kabar baiknya lagi, ternyata hadiah itu bersih dari pajak, dan dia sekeluarga benar-benar mendapatkan sepuluh juta rupiah.
Dan di sinilah ia duduk malam itu. Di depannya Sri me- mangku anak mereka, Rahman yang nyaris berusia setahun. Cahaya lampu teras yang sampai di meja makan, membuat keadaan sekitar sedikit temaram. Kursi yang ia duduki beberapa kali berderit. Memang sudah agak goyah. Maklum
132
EMAK INGIN NAIK HAJI
ASMA NADIA
–
133
semua perabot di rumah, meski dipelihara dengan baik, adalah peninggalan Emak dulu. Tak ada yang
baru.
Satu-satunya pemandangan baru di hadapan mereka adalah sepuluh gepok uang pecahan lima puluh ribuan yang tergeletak di meja. Banyak betul. Belum pernah seumur hidup Oman, maupun Sri menatap uang sebanyak itu.
“Jadi bagaimana, Pak?”
Oman, termenung. Tangannya meraih notes kecil dan melihat beberapa baris coretan lama. Mimpinya akhirnya bisa ditunaikan. Lelaki berusia tiga puluh delapan tahun itu pun tersenyum.
“Insya Allah bisa, Sri. Sudah dihitung-hitung, di- kurangi bagian yang harus disedekahkan.”
Sri memainkan jemari Rahman. Senyum tersungging di bibirnya. Tulus.
“Syukurlah. Cukup?”
Oman mengangguk.
“Alhamdulillah, Sri. Rezeki Allah Maha Luas!”
Malam ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun- tahun, ia dan istrinya akan tidur nyenyak. Uang sepuluh juta itu cukup untuk menyelesaikan kewajiban yang ter- tunda selama ini: menebus surat-surat kepemilikan rumah yang diam-diam digadaikan Ibu demi meriahnya per- nikahan Oman dan Sri, empat tahun silam.