LORONG KEMATIAN

Penulis : Helvy Tiana Rosa

Penerbit : Gramedia

Halaman

167

Tanggal Terbit

2014

ISBN

9786020308319

Penerbit

Gramedia

Jod Selovic mengerutkan kening ketika mendengar siaran radio, senja di bulan Juli 1995. Menteri Luar Negeri Inggris, Malcolm Rifkind, menegaskan bahwa Bosnia Herzegovina, kini dalam situasi aman dan damai. Ia menyatakan pasukan Serbia tak akan lagi melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil.

“Gila,” gerutu Jod Selovic. Diliriknya Dean Milovic, anak buahnya yang sedang asyik menimang emas yang kemarin ia jarah dari puluhan mayat wanita Bosnia korban perkosaan di barak mereka.

“Kau dengar, Dean? Tak ada perang lagi? Tak ada? Ha… ha… ha….”

Dean terkekeh juga. “Siapa yang bisa mencegah kita melu- muri negeri cantik ini dengan darah? Bahkan semua damijan di negeri ini telah merah meratap….”

“Dengar, aku punya taktik baru. Lebih brilian dari Ratko Mladic!” sela Jod.

“Oh ya?” Dean menaikkan alis matanya. “Apa itu, koman- dan?”

“Kau akan tahu,” tegas Jod. “Ayo!” ia segera bangkit me- nuju lapangan, di belakang barak prajurit. Dean tergopoh-

gopoh mengikutinya. Lengkingan peluit diikuti dengan suara panggilan berulang kali pada seluruh pasukan terdengar. Ke- sibukan segera tampak di sekitar barak. Para lelaki tegap dan gagah menuju satu titik temu: Komandan Jod!

“Saatnya pengarahan, minuman dan suntikan!” kata Jod pada sekitar lima ratus prajuritnya. “Dean, siapkan!”

“Siap Komandan!” seru Dean. Cepat ia membagi lima ratus orang itu dalam dua puluh kelompok.

Jod memerhatikan sambil menarik-narik hidungnya yang lancip. ‘Suntikan kesehatan’ dan ‘minuman kebugaran’ akan membantu prajuritnya untuk beraksi melebihi angin bura mana pun. Berani dan buas.

***

Srebrenica lepas Isya. Kota yang poranda itu adalah dua mayat raksasa yang mendekap mayat-mayat manusia yang tiada bisa dikenali lagi. Bahkan udara seakan mati. Bangunan rapuh sisa reruntuhan, menjadi tempat bermalam mereka yang kehilangan tempat tinggal. Sepi, dingin ditingkahi suara serangga malam.

“Tidak, tak akan ada lagi pembantaian. PBB telah menja- min…,” suara-suara itu menghibur diri sendiri dalam dekap- an malam.

Keheningan pecah seketika saat suara tank, bom, mortir dan berbagai senjata mengoyak dan mencabik setiap sudut kota.

Para penduduk Srebrenica yang sejak tadi tak dapat me- micingkan mata barang sesaat menjadi panik. Tiba-tiba saja

puing-puing reruntuhan dan bedeng hunian tempat mereka berteduh dibombardir! Jeritan kematian, pekik histeria dan berbagai rintihan membuat malam merah menangis. Orang- orang berlarian sendiri tanpa arah, tanpa sempat mengajak atau melindungi keluarga mereka. Bertemu Serbia berarti mati tanpa bentuk. Maka tanpa berpikir lagi, ratusan orang memasuki hutan di tepi Srebrenica. Itulah satu-satunya tempat yang aman, meski bukan mustahil mereka menjadi mangsa binatang buas!

Satu per satu dari mereka rebah ke tanah, terkena tem- bakan dan mortir sebelum bisa mencapai hutan. Kebanyakan para balita, wanita dan orang tua. Ledakan. Di mana-mana api. Asap membumbung tinggi….

Jod Selovic berlari kencang sambil memuntahkan peluru dari senjata laras panjangnya. Dan saat darah muncrat dan menggenangi jalan, terasa ada kepuasan yang menyentak- nyentak dalam dirinya. Di hadapannya tak ada manusia. Hanya hewan-hewan liar yang berlarian menyelamatkan diri. Jod menembak domba dan sapi. Lalu ayam-ayam yang ber- iringan. Ketika seekor harimau melintas, ia menembaknya berulang kali! Hewan-hewan berlarian di pekat malam! Jod tak akan melepaskannya….

“Dean!” panggilnya.

Dean menyeringai. “Komandan, berapa yang kena?” “Aku pemburu jitu! Pemburu jitu, Dean!”

Jod terus berburu. Domba-domba jatuh. Ayam-ayam menggelepar. Rintihan mereka menyayat segala, juga bulan. Tetapi tak menyentuh sedikit pun hati Jod dan anak buahnya.

Suara riuh rendah para tentara Serbia yang menikmati perburuan mereka tak teredam oleh derap tank-tank baja mereka. Tak lama sambil mengusap peluh di dahinya berulang kali dan menenggak sebotol zilavka, Jod memberi komando agar ‘perburuan’ dihentikan.

“Komandan, kami belum selesai!” protes para tentara.

“Kami akan menghanguskan hutan ini sekalian!” seru yang lain.

Jod Selovic mengangkat tangannya: “Mundur!” teriaknya. “Kita kembali!”

Dean Milovic dan ratusan tentara lainnya, meninggalkan tempat itu dengan setengah hati. Biasanya Jod menyuruh mereka untuk selalu menuntaskan masalah. Termasuk meng- habisi nyawa setiap Bosnia, tanpa satu pun yang luput. Tanpa ada saksi mata. Tapi kini….

“Komandan, bisa kau jelaskan soal ini?” tegur Dean sam- bil mengatur napasnya.

Jod tersenyum, masih dengan dada yang turun naik. “Nan- ti kujelaskan. Setelah minum dan mendapat suntikan sekali lagi di markas,” ujarnya kemudian, dingin, sambil mengisi kembali senjatanya dengan peluru.

***

Pukul 21.00, waktu Srebrenica. Semua seperti tak percaya mendengar uraian Jod. Malam ini mereka akan mengepung pos PBB di tepi Srebrenica!

“Kita akan merampas bahan makanan, senjata, hingga seragam mereka!” tegas Jod. “Bila mereka mengancam atau melawan kita bunuh!”

“Mengapa harus demikian…, maksudku mengapa seragam mereka juga harus kita rampas?” tanya seorang prajurit.

“Bodoh! Pakai otakmu bila berbicara. Kita akan menggan- tikan tugas mereka ‘melindungi’ para penduduk.” Jod terba- hak-bahak. Diraihnya ‘minuman kebugaran’. Sambil minum ia terus tertawa-tawa, menyampaikan rencananya.

Mata Dean Milovic berbinar-binar. Yang lain menyeringai atau ternganga, beberapa bergidik. Ah, semua tentara yang pernah mengenal Jod berkata benar. Jod dan Ratko Mladic atasannya, bagai si kembar pencabut nyawa yang mahalicik!

“Dean, bagi kelompok! Saatnya minum dan suntik!”

Para tentara baret merah itu tertib masuk dalam kelompok masing-masing. Siap untuk diberi minuman dan suntikan. Mereka merasa selalu lebih segar, hebat dan tangguh bila sudah mendapatkan semua itu.

Kalau saja kalian tahu, pikir Jod. Bahwa suntikan dan mi- numan itu semata untuk menghilangkan kemanusiaan kalian, seperti juga aku. Sebab peperangan adalah ladang pembantai- an yang dilakukan oleh mereka yang bukan manusia. Begitu menurut Ratko Mladic.

Tak sampai satu jam kemudian iring-iringan sekitar lima ratus prajurit telah sampai di Pos PBB, Srebrenica.

Jod cukup merasa takjub, ketika para petugas ‘pelindung’ kiriman PBB itu terbelalak ketakutan menghadapi ancaman- nya. Bahkan pada akhirnya mereka dengan sukarela menye- rahkan bukan saja pakaian, juga semua yang mereka miliki padanya.

“Dunia tidak boleh tahu kepengecutan kalian. Bila kalian buka suara kami akan kembali dan ingat baik-baik, bila hal itu terjadi berarti kalian telah mencoreng nama PBB di panggung internasional. Prajurit, ambil semua bahan makanan, senjata dan obat-obatan!” perintah Jod.

Pemimpin pasukan PBB yang telah dilucuti dan cuma me- ngenakan singlet serta celana pendek itu menggigil ketakutan. Anak-anak buahnya berbaris menghadap tembok dengan tu- buh bergetar.

“Pakai!” teriak Jod pada Dean sambil melemparkan pakaian seragam pasukan PBB, lengkap dengan baret birunya!

“Hup!” Dean menangkapnya sambil tertawa-tawa. Ia se- gera melemparkan seragam-seragam yang lain pada anggota pasukan Serbia. Dalam sekejap, baret-baret merah Serbia telah berganti dengan baret-baret biru pasukan PBB!

“Komandan, aku belum dapat!”

“Ya, aku juga!” kata beberapa prajurit pada Jod.

“Di mana cadangan seragam kalian?” bentak Jod seraya mengangkat wajah dan mencengkeram singlet yang dipakai kepala pasukan PBB itu.

Lelaki separuh baya itu menunjuk ke sebuah lemari dengan dagu yang nyaris rapat ke dada. Geram. Takut.

Setelah mendapatkan semua, dengan cerdik Jod memaksa tawanannya masuk ke dalam markas. Sekitar dua ratus tentara itu dipaksa berimpitan dalam ruangan yang tak begitu luas, hingga mereka megap-megap karena sulit bernapas. Lalu de- ngan angkuh Jod mengunci mereka dari luar.

“Ayo kita ledakkan!” teriaknya.

Dean dan prajurit lainnya terbelalak. Para pasukan naas

yang mendengar gelegar suara Jod berteriak memohon- mohon. “Ampun, jangan ledakkan! Jangan bunuh kami!” ratap mereka. “Tolong, kasihani kami!” lolong mereka lagi.

Jod tersenyum sinis. “Pengecut! Dean, perintahkan pasu- kan kita berangkat! Biarkan mereka seperti ikan-ikan dalam akuarium kecil… ha… ha… ha….”

***

Jod dan pasukannya menelusuri jalan sebelumnya, tempat ri- buan manusia berlari menyelamatkan diri, beberapa jam lalu. Kini waktu menunjukkan pukul 03.00 dini hari.

Tak jauh dari hutan….

“Kalian yang berbaret biru, di depan!” perintah Jod. Para tentara mengatur barisan mereka tanpa suara.

“Kalian yang berseragam asli, sembunyikan diri kalian di balik pepohonan dan belukar!”

Kemudian Jod dan pasukannya meneruskan perjalanan menuju hutan. Mata malam Jod yang terlatih menangkap ke- lebat-kelebat manusia yang bergegas menyembunyikan diri, juga suara-suara tangisan yang ditahan.

“Halo… halo…, siapa yang bisa mendengar saya? Hutan telah dikuasai pasukan PBB! Jangan takut, kami datang untuk menolong. Halo, halo….,” suara ramah Jod menggema ke sekitar belantara.

Pelan-pelan, para penduduk yang menggigil karena lapar, sakit dan takut itu mengintip-intip dari tempat persembunyi- an mereka. Lalu tak lama, mulai bermunculan. Semakin lama. semakin banyak. Wajah-wajah pias mereka sedikit berseri memandang pasukan baret biru tersebut. Sebagian lagi lang- sung bersimpuh lemas di hadapan beberapa tentara.

“Halo, halo, siapa yang masih bersembunyi? Kami pasukan PBB. Kami akan membawa kalian ke tempat-tempat pengung- sian.”

Ratusan orang, tua, muda, anak-anak dan wanita bergegas meninggalkan tempat persembunyian mereka tanpa ragu sedi- kit pun.

“Alhamdulillah, pasukan PBB datang….”

“Ya, kita tertolong….”

“Ah, aku tak kuat lagi.”

“Hasanovic! Gervka! Keluar, bantuan telah datang!”

“Apakah Anda mempunyai sepotong saja baclava, anak

kelaparan….”

“Tapi, mau dibawa ke mana kami?”

Suara-suara penduduk yang merasa diselamatkan terdengar gembira. Jod menarik napas panjang. Dua tugas lagi dan mainan selesai.

“Dean, suruh beberapa prajurit menghitung! Kumpulkan semua orang di ujung sana!”

Dean bergerak cepat. Tak lama ia sudah kembali membawa berita. “Lebih dari lima ribu orang. Sekitar lima ratus tewas oleh serangan kita sebelumnya,” suara Dean setengah berbisik.

Jod memandang ke kanan belantara. Ribuan orang terdu- duk menunggu nasib mereka selanjutnya. Hanya itu peman- dangan yang dilihatnya. Nuraninya bahkan tiada tersentuh melihat bocah-bocah bermata jernih yang terus memerhatikan mereka. Hatinya beku melihat para wanita dan orang-orang tua yang resah gelisah. ‘Minuman’, ‘suntikan’ dan doktrin- doktrin militer Serbia telah menempanya menjadi Jod Selovic, komandan penyambar nyawa. Demi tanah air, atas nama bang- sa, ia memilih menjadi manusia tak berperi.

Tampaknya tak ada di antara orang-orang Bosnia itu yang curiga. Seragam, truk-truk tronton, semua menunjukkan ke- khasan pasukan PBB. Pasukan itu juga telah memberi mereka roti dan minuman.

Jod masih menatap orang-orang itu. “Dean, suruh para komandan pleton memisahkan para lelaki dan perempuan!”

Suara-suara bingung terdengar, saat pasukan Jod memi-

sah-misahkan warga Bosnia tersebut.

“Jangan, jangan pisahkan! Ayah kami sudah tua!”

“Ivan, Ivan anakku!”

“Nuraa! Nuraa….”

“Diam kalian! Para lelaki naik ke atas truk-truk itu! Ce- pat!” teriak Dean.

“Ganti pakaian kalian dengan mereka! Cepat!” perintah Jod.

Para tentara Serbia yang bersembunyi di balik pepohonan dan kegelapan malam, tiba-tiba muncul! Para penduduk sipil berteriak histeris. Beberapa orang berusaha melarikan diri. Sia-sia! Darah segar mereka malah kembali mewarnai malam.

“Buka baju kalian! Buka!” teriak para tentara Serbia berpet merah kepada para lelaki. Rentetan suara tembakan terdengar memecah malam. Lalu sebuah pesta dini hari di- gelar. Para tentara Serbia memaksa penduduk sipil memakai seragam mereka. Dan sambil tertawa-tawa mereka bersalin dengan pakaian peduduk sipil tersebut.

Kening Jod Selovic kembali berkerut. Hidungnya ber- gerak-gerak. “Angkut para tentara Serbia’ itu segera. Kita bantai mereka di tengah jalan! Setelah itu kita undang para wartawan. Kita beri bukti pada dunia bahwa tentara-tentara kita telah disembelih oleh orang-orang Bosnia Herzegovina yang kejam ini!”

Para penduduk semakin dicekam ketakutan, tetapi mereka mencoba sebisa mungkin menahan rasa ngeri dan pedih itu. Sebab satu gerakan bisa berarti mati!

“Dean, selesaikan wanita dan anak-anak! Silakan berpesta, ‘pasukan PBB’!”

Tentara-tentara itu tertawa-tawa. Ketakutan warga me- muncak. Semakin memuncak!

“Aaaaaaaa!”

para

“Pisahkan wanita hamil!” teriak salah seorang Serbia, terkekeh-kekeh.

Alis Dean terangkat. “Kau bilang janin ini perempuan ini lelaki? Percaya padaku, ia pasti perempuan!” Tiba-tiba pedang panjang yang selalu setia menemani Dean, bergerak cepat dan seketika membelah perut seorang wanita hamil di dekatnya.

“Tidaaaak! Allaaah!”

“Sial, kau benar…, janin ini perempuan! Ha…ha…ha….” Wanita hamil itu jatuh berlumuran darah, ke tanah de- ngan perut yang terbelah. Janinnya dilemparkan ke udara. Lalu segera beberapa tentara itu mencari wanita hamil la- innya. Oh, betapa mereka dahaga akan hiburan. Tentu saja hiburan yang menyertakan taruhan!

***

Jeritan-jeritan kematian masih menerkam malam, menyayat bulan.

Mata Jod Selovic berkilat menatap kubangan darah yang menghitam dalam gelap, tak jauh di hadapannya. Tugas ter- akhirnya kini adalah membawa para penduduk Bosnia berse- ragam Serbia itu dan membantainya di berbagai tempat. Ya, ia tahu tempat-tempat bagus. Barak, jalanan…, atau gereja? Sama saja.

Jod menatap langit yang kelabu. Bila saja mampu, ia akan buat langit itu retak dan berdarah. Ia tertawa keras. Semakin keras menjelang pagi.

 

***

Keterangan:

damijan                : masjid

zilavka                  : sejenis minuman keras

baklava                : sejenis roti

Cipayung, Agustus, 1995

Update Cerpen

Pesan Buku LORONG KEMATIAN