LELAKI KABUT DAN BONEKA

Penulis : Helvy Tiana Rosa

Penerbit : Gramedia

Halaman

167

Tanggal Terbit

2014

ISBN

9786020308319

Penerbit

Gramedia

Lelaki itu tiada mempunyai wajah yang tetap, tetapi sebe- narnya ia ada. Ia selalu bersembunyi di balik rerimbunan kalimat yang dibuat di jalan-jalan sejarah. Ia mengamati la- ngit, bumi, matahari, rembulan, kepekatan dan darah dari balik gumpalan kabut yang diciptanya sendiri….

“Siapakah… lelaki… itu? Di… di… mana… dia?” Orang-orang bertanya-tanya. Mengeluarkan suara gagap dengan tubuh meremang gemetar. Wajah mereka pasi, serupa lilin-lilin di keheningan musim dingin. Ya, mereka merasakan keberadaannya, tetapi mereka tak yakin ia benar-benar ada. O, adakah lelaki yang bertahan hidup di balik kabut selama itu? Dan sang lelaki, hanya ia sendiri yang mengetahui bahwa ia sungguh ada.

Kelam merangkaki belukar malam. Kini lelaki itu kembali untuk menebarkan nyeri dalam pekat. Di bawah sebuah po- hon yang telah meranggas, tangannya mengacung-acung ke udara, “Akulah semesta!”

Langit merah. Tanah pecah dan angin rebah. Kengerian berhembus menerjang kabut, melewati lorong-lorong pera- daban yang tergali oleh waktu, membongkar kebiadaban diri di dasar yang paling sunyi. Ah, walau Socrates hidup lagi, tak

akan mampu untuk membawanya kembali ke jalan perun- dingan.

***

“Aku akan menyiapkan semua,” kata lelaki itu pelan sambil menyepak-nyepak kepala manusia yang berserakan di mana- mana. Diambilnya sebuah tengkorak kepala kecil. Diamatinya beberapa saat. Pasti bayi yang sangat mungil, pikirnya. Lalu dilemparnya tengkorak itu, seperti seorang pelajar tanggung melempar batu pada pelajar lain di tengah kota. Angin meniup benda itu, menerbangkannya hingga jatuh kembali entah di

mana.

Ya, angin memang selalu menerbangkan segala, juga ke- nangan. Bahkan semua kenangan indah tentang diri dan keluarga. Tentang tanah airnya. Kini yang tersisa adalah ke- bencian dan amarah. Dendam yang membelit-belit, kabut dan tentu saja para boneka itu.

Tak akan ada yang mampu menghentikannya sekarang. Tidak juga Tuhan, pikirnya pongah. Lelaki itu tertawa. Terba- hak-bahak sampai keluar air mata. Sebentar lagi ia akan men- jadi manusia dambaannya: Si Pemusnah. Ya, sebentar lagi ia akan sampai di puncak tujuannya: memusnahkan tanah airnya sendiri!

Lelaki itu menatap ribuan boneka seukuran dirinya yang berada di hadapannya. Boneka-boneka sekabut dirinya, de- ngan mata berwarna-warni: biru, merah, cokelat, hitam dan hijau.

Dulu sekali boneka-boneka itu pernah menjadi manusia. Namun banyak hal, terlalu banyak hal, yang membuat manu- sia ingin berhenti jadi manusia dan menjelma boneka.

Ia telah mengumpulkan berbagai jenis boneka sejak lama. Jenis preman, perusak, pembunuh, pemerkosa, pembakar, penggantung, pengadu domba, pembuat bom, pembisik, perayu sampai penyebar obat-obatan terlarang. Mereka dite- mukannya di tong-tong sampah, di hotel-hotel mewah, juga di gedung-gedung yang penuh berisi pejabat. Ya, selalu ada boneka di setiap tempat.

Meski boneka, sosok-sosok tersebut bagai manusia. Bah- kan manusia yang asli akan terkecoh bila menatap para bo- neka yang amat mirip dengan mereka itu! Satu-satunya yang tak ada pada boneka itu hanyalah hati. Dulu ketika masih manusia, hati-hati mereka berada di tempat yang paling ter- sembunyi dari diri mereka. Lalu dalam keterpencilan, gum- palan-gumpalan darah itu rontok digerogoti jamur dan lumut yang tak bernama. Dan tanah masa silam telah menguburnya begitu rapat.

Maka sang lelaki pun akan terkekeh-kekeh. Juga saat para bonekanya menebar teror di berbagai tempat. Meninggalkan kubangan darah, reruntuhan gedung, bau daging manusia yang terbakar, aroma curiga, serta mata-mata liar di mana-

mana.

Dan lelaki itu merasakan kenikmatan yang aneh. Indah. Pedih. Damba. Benci. O, ia telah memindahkan letupan- letupan angkara itu, gelegak laut dalam dirinya. Darahnya telah laut dan lautnya berdarah dan….

“Berhentilah, Angkara! Berhentilah!”

Suara itu! Hanya suara itu yang berani memanggilnya demikian. Perempuan itu! Perempuan yang bersamanya bertahun-tahun. Yang menempati hati dan mengecup semua

lukanya setiap saat, namun tak sekali pun pernah memanggil namanya. Perempuan yang selalu membuatnya sadar betapa berkuasanya ia, sang Angkara.

“Sunyi?”

“Ya, aku.”

Sosok perempuan itu melayang dalam pandangannya, se- perti baru saja turun dari langit. Wajahnya masih pias seperti dahulu dan ia masih saja menyukai baju-baju berwarna pucat dengan motif kembang-kembang merah. Lelaki itu mengu- cek matanya sekali lagi kala melihat kembang-kembang itu mencair sebagai darah dan menetes-netes jatuh ke tanah.

“Mengapa kau kembali? Mengapa?”

“Aku tak kembali, sebab aku tak pernah pergi, Angkara.” “Kau sudah mati, Sunyi.”

“Kau salah, Angkara. Kau yang telah lama mati.”

“Mati? Aku tak bisa mati, bahkan bila aku mati!” suara lelaki itu terdengar parau sesaat namun tetap menggelegar. “Kau tahu, Sunyi. Kalaupun aku mati, aku akan mati bersama semua kehidupan di tanah ini.”

“Dendam selayaknya hanya berhenti pada kata atau ber- gelinjang dalam pikiran yang kerdil, tetapi ia tak boleh hadir di permukaan. Kau tahu mengapa? Sebab Dia dan seluruh makhluk-Nya akan berpaling dari dirimu. Jejak-jejakmu se- belumnya, bayanganmu pupus oleh kelam dendam yang kau ukir pada seonggok darah dalam tubuhmu….”

Angkara mendesah. Mereka, seluruh orang di negeri ini pantas mendapatkan itu, teriak batinnya. Bukankah selama bertahun-tahun mereka merejam dan membunuh kemanusia- annya? Ya, bahkan tanpa berpikir sedikit pun akan jasa-jasa-

nya bagi negeri. Jadi mereka yang menyulut peperangan ini. Orang-orang yang berbuat semaunya itu telah merekayasa segala hingga ia menjelma orang sepotong. Jadi jangan tanya ke mana perginya jiwa ataupun kemanusiaannya! Mereka telah mencerabut itu semua dari dirinya dan menenggelam- kannya dalam jelaga lara tak berkesudahan yang membakar dada dan mencuatkan dendam dalam langit-langit kepala.

Lalu ketika ada orang yang memberinya uang untuk mem- beli kepulauan di luar negeri asalkan ia membuat tanah kela- hirannya menjadi api, ia tergeragap sesaat namun kemudian menganggapnya sebagai suatu tugas suci. Ya, sebuah tugas suci untuk membersihkan segala yang ada dalam negerinya dengan api. Hanya dengan api.

“Sunyi…,” lelaki itu mendesah, memanggil perempuan yang selalu dirindukannya.

Tetapi tiada jawaban.

“Kau tak pernah benar-benar ada, bukan?”

Sepi. Hanya kabut pekat menyelubungi.

“Kau hanyalah bayangan yang menarikan tari kebajikan untukku. Memahatkan senyap yang menggigil dalam kal- bu…,” Lelaki itu mengusir perih yang sesaat menusuk batin- nya. Ia menarik napas panjang beberapa lama.

“Sunyi! Sunyiiiii!” Ia terus memanggil perempuan tadi de- ngan suara yang kian lama kian sengau. Sungguh, ia mencin- tai perempuan yang hidup di batas khayal dan kenyataannya. la ingin perempuan itu melahirkan anak-anak mereka. Tetapi bukankah ia hanyalah keindahan yang tiada?

“Ayah! Ayah!”

Lelaki itu menoleh dan menatap ribuan boneka yang menghampirinya dari berbagai penjuru, bagai kumpulan bo- cah taman kanak-kanak menyongsong kedatangan ayah yang menjemput mereka dari sekolah.

“Aku telah melakukannya, Ayah!” “Kita berhasil, Ayah!”

Mereka dengan mata menyala menggamit lengannya man- ja. Meyakinkannya untuk melihat sesuatu yang telah mereka lakukan di seluruh negeri. Dan dalam sekejap, lelaki itu merasa berada dalam sebuah galeri yang memamerkan lukisan maha- karya yang tak seorang pun mampu berkata kala memandang-

nya.

Dari kejauhan ia kembali mendengar gemuruh teriakan manusia, suara-suara ledakan, tangisan bayi dan lirih para jom- po memanggil-manggil nama Tuhan mereka. Ia dapat merasa- kan gedung-gedung yang runtuh dan tubuh-tubuh yang pecah membentuk kepingan yang hampir sama di udara. Ia mencium bau gosong dan merasakan geliat resah dan kesah para pemim- pin itu.

Hidung lelaki itu bergerak-gerak, menghirup dengan rakus aroma anyir darah pada cakrawala, seolah itu adalah wangi kes-

turi.

Fffbuuibh, sebentar lagi ia akan keluar dari negeri yang po- randa ini. Ya, tak lama lagi, saat semua menjadi arang, hingga tak menyisakan sejumput asa pun.

Ia bergegas ke tempat persembunyiannya yang jauh dari pusat kota. Membaca semua koran yang diantarkan pesuruh- nya. Hampir semua mewartakan karya besarnya. Ia menyetel

televisi. Matanya picing menatap kegemparan yang menjadi mini di layar kaca. Rahangnya mengeras dan gigi-giginya sa- ling menggigit.

“Saudara, pelaku kerusuhan dan pemboman di sejumlah tempat telah dapat ditangkap oleh aparat keamanan. Mereka adalah….”

Bibir lelaki itu melengkung ke bawah, sesaat kemudian ia terbahak-bahak hingga air matanya berlinangan. Ia menggo- yang-goyangkan pantatnya di depan wajah para aparat dan pejabat yang entah mengapa sesaat merasa lega. Ia berjing- krak-jingkrak dan menarikan tarian aneh yang dulu hanya bisa dibawakan oleh Calonarang.

“Tuhan tak pernah tidur, Angkara…,” bisikan-bisikan Sunyi menerobos setiap lubang udara yang ada di kediaman lelaki itu. Sesaat lelaki tersebut merasa angin yang begitu kencang menampar-nampar wajahnya, entah dari mana.

Tetapi lelaki itu tak peduli. Baginya Sunyi, Tuhan dan semua yang indah hanyalah imaji risau yang melekat sesaat pada rona hitam hidupnya. Dan dengan sekali kibasan, ia dapat mengusirnya.

Lelaki itu masih terbahak-bahak, masih berlinangan air mata. Kabut terus bergerak membentuk gumpalan yang se- makin pekat membungkus dirinya. Di segenap penjuru nege- ri, para boneka bertepuk tangan.

Sementara itu orang-orang tak berhenti menggigil. Me- reka tak mampu lagi berjalan, hanya merangkak pada ge- nangan merah dan tergelincir berkali-kali. Setiap pagi, siang dan petang mereka menemukan lagi tubuh-tubuh terbongkar

yang membujur panjang, bagai jembatan tak bertepi yang menghubungkan tiap daerah di negeri itu.

Dan mereka masih saja bertanya dengan tubuh meremang dan suara darah: “Si… siapa… dia? Me… mengapa kalian belum juga… menangkapnya?”

***

-Cipayung, Januari 2000

Update Cerpen

Pesan Buku LELAKI KABUT DAN BONEKA