Halaman
167
Tanggal Terbit
2014
ISBN
9786020308319
Penerbit
Gramedia
Sungguh, sudah lama sekali aku merindukan seruan itu. Seruan Hemingway, saat ia berteriak padaku; “Kivu, kaulah yang terindah!”
Namun kini, adakah di dunia ini yang dapat merasakan kepedihanku? Kegetiran dalam riak biru gelombang dan hempasan angin malam?
Sudah lama sekali aku berada di sini. Waktu begitu cepat berlalu. Abad demi abad, tahun, bulan dan hari selalu saja berkelana. Dan aku menjadi saksi guliran sejarah.
Lebih dari dua tahun yang lalu, beribu orang Tutsi yang berasal dari Rwanda datang ke perbatasan. Mereka melan- jutkan perjalanan ke Zaire dan sampai di Provinsi Kivu ini. Lalu melintasi Bukavu dan selama beberapa bulan tinggal di sekitarku. Kondisi mereka teramat menyedihkan.
Orangtua dan anak-anak bertubuh kurus yang dikeru- bungi lalat dan tak lepas dari intaian burung-burung pemakan bangkai, menyeret langkah mereka satu-satu. Wajah mereka dipenuhi peluh yang tiada henti mengalir. Mereka menjinjing barang sisa-sisa. Perut-perut lapar mereka membuat irama teratur yang dapat kudengar jelas dari sini. Kala malam tiba, mereka tidur di tanah beratap langit. Tangis, rintihan, teri- akan-teriakan putus asa dan kematian bersahutan, ditingkahi suara binatang malam.
Dari percakapan yang kudengar, kuketahui kisah yang menyedihkan itu. Presiden mereka, Juvenal Habyarima, yang tengah memperbincangkan perdamaian antarsuku dengan Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira, tewas ketika pesawat yang mereka tumpangi terkena roket selepas Tanzania.
Tak lama Perdana Mentri Rwanda, seorang wanita Tutsi, Agathe Uwilingiyima, juga terbunuh. Suku Hutu berada di belakang itu semua. Lalu seperti api yang menjalar, kerusuh- an dan pembantaian terjadi di mana-mana. Minoritas Tutsi yang tadinya memang lebih berkuasa, diburu dan dibantai tanpa pandang bulu oleh etnis Hutu! Banyak yang kehilangan belasan anggota keluarga hanya dalam satu malam!
“Apa kesalahan Maman (ibu), Papa dan saudara-saudara- ku? Mengapa semua dibunuh? Dan… kini aku… sendiri…,” ujar seorang anak bertelanjang dada suatu malam padaku. Ia terus menangis sesenggukan. Saat fajar menjelang, bocah berambut keriting-keriting kecil itu tertidur dalam lapar.
Tak ada yang bisa kubuat. Hanya termangu. “Kivu, kau yang terindah,” bisik Hemingway.
Ah, sungguh aku rindu suara itu. Namun adakah artinya? Sejak dua tahun yang lalu itu, keindahanku mulai memudar. Aku mengharap pelangi, tetapi di dekatku hanya mayat-mayat berserakan. Sampah-sampah bertebaran, air mata duka dan riak percikan darah….
Ya Allah, aku pun menjadi korban atas kebencian para manusia yang tak tahu hakikat diri. Tak bisakah Suku Tutsi dan Hutu bersahabat sebagaimana persahabatanku dengan mentari, rembulan dan awan? Hidup dalam damai seperti ke- damaian yang kurasakan bersama pepohonan dan para satwa di sekitarku?
“Kivu, kau yang terindah,” bisik Hemingway. Deburan-deburanku kelu, tak mampu menjawab bisikan itu.
***
Setelah cukup lama tinggal bersamaku, para pengungsi Tutsi melanjutkan perjalanan memasuki jantung Zaire dan berga- bung dengan para Zairian. Beberapa di antara mereka ada juga yang berani kembali ke Rwanda, menempuh jarak ratusan kilo- meter dengan berjalan kaki, atau bila beruntung menumpang truk yang melintas.
Ketegangan dan kepedihanku berangsur sirna. Apalagi ke- tika Presiden Mobutu Sese Seko yang senang menghabiskan uang untuk jalan-jalan ke Paris dan Swiss itu, mau menyum- bang dana agar kecantikanku kembali.
Tetapi tak lama kepedihan dan kegetiran itu menyelimuti- ku lagi. Hampir semua yang datang kemari selalu saja memba- wa kisah sedih kesenjangan Hutu-Tutsi. Lalu kebencian demi kebencian pun menghampiri Zaire yang memiliki komposisi penduduk seperti Rwanda. Hutu-Tutsi di negaraku akhirnya pun saling curiga, saling benci.
Puncaknya adalah pengusiran etnis Tutsi Banyamulenge dari Zaire karena hasutan Suku Hutu! Kaum Banyamulenge sempat singgah padaku. Mereka minum, dan membasuh wa- jah. Tatapan mereka pedih, namun merah penuh dendam. Mereka diusir dari negeri sendiri!
“Mobutu hanya percaya pada Hutu!”
“Kelak kita rebut lagi negeri ini!”
“Kita harus bersatu dengan Tutsi di Rwanda! Memperku- at militer kita!”
Gerak riakku meninggi. Kilat menyambar, petir mengge- legar! Menjatuhkan pohon-pohon di sekitar. Para penghuni danau terombang-ambing tak tentu arah. Badai mengamuk! “Kivu, kau indah,” bisik Hemingway.
Tetapi aku memendam luka dan amarah.
Wahai Manusia, lihatlah Sang Maha Penguasa! Amarah-Nya adalah amuk semesta! Mengapa selalu saja kalian rencanakan pertumpahan darah?
Dan kini…, setelah waktu berlalu….
Kembali kutemui ratusan ribu wajah yang lelah, takut dan penuh curiga. Mereka datang dari Rwanda. Kulihat kondisi mereka sangat payah. Mereka letih, luka-luka, kelaparan, ketakutan dan terserang epidemi kolera. Begitu sampai di ha- dapanku, banyak di antara mereka yang jatuh bergelimpang- an. Terpuruk karena keletihan yang luar biasa. Atau mati. “Kivu, kau yang terindah….”
Ah, Hemingway, diamlah. Lihat…, tragedi kebencian apa- lagi yang terjadi kini?
Ratusan orang berlari menghampiriku. Merapatkan ke- dua tangan, melengkungkannya dan mengambil airku untuk mengusap wajah dan tangan, juga membasahi kerongkongan mereka.
“Kita di sini saja. Goma terlalu jauh….” “Hai, pindah! Ini tempat kami!” “Ka…si…ha…ni…sa…ya….”
“Kita harus selalu bergerombol agar Tutsi tak mudah membantai kita!”
“Nguuuuuuung… nguuuuuuuung….”
“Dusambwe! Dusambweeee!!”
“Tolong! Bayiku lapar…, tolonglah!” “Mamaaaaaaaaann! Jangan tinggalkan akuuuu!!” “Nigtekaaaaa!!!!”
“Nguuuuuuung…, nguuuuung….” Suara gerombolan lalat. “Dia mati! Dia mati!”
“Tumpuk mayat-mayat itu di sisi danau!”
“Jangan ambil harta kami! Oh, tidak! Itu makananku! Ti- daaak! Jangan direbut! Kasihani anakku!”
Lalu suara hiruk pikuk. Rintihan, tangisan, teriakan berba- ur dengungan lalat. Dan aku termangu lagi seperti dulu. Me- natap mereka tanpa mampu berbuat apa pun.
“Kivu, kau indah,” bisik Hemingway.
Aku menggigil. Melihat kelam kembali merangkaki ma- lam. Bulan di atas sedikit menyembul, mengintip penderitaan orang-orang itu.
Malam kian larut. Kulihat barisan pengungsi itu begitu panjang dan padat hingga ke Goma, Kivu Utara.
Mereka masih berkubang resah. Ada yang bercakap-cakap. Bahasa Perancis, Swahili, Lingala, Kingwana, Kikongo dan Tshiluba terdengar campur baur. Banyak yang menangis. Ada yang masih saja minum agar perutnya kenyang, banyak yang meratapi kerabatnya yang mati. Ada yang bertengkar, mere- nung, melamun, menatap bulan mengepalkan tangan. Banyak yang mengendap-endap mencoba mencuri perbekalan yang lain. Ada yang menggigil, banyak yang merintih dan meratap di antara dengungan nyamuk dan lalat. Ada yang….
Allah, kulihat kembali pemandangan seperti ini di hadap- anku. Apakah Kau tengah menguji mereka? Ataukah meng- hukum mereka atas perbuatan mereka selama ini?
Aku yakin, mereka adalah suku Hutu. Perawakan mereka yang kekar namun pendek, rambut yang keriting-keriting kecil dan hidung yang pesek. Semua itu ciri orang-orang Hutu. Berbeda dengan suku Tutsi yang semampai, bersih dan berhidung mancung, serta agak ikal. Lalu…, mengapa mereka bisa sampai di sini? Bukankah mereka di negerinya setelah membunuhi kaum Tutsi? “Kivu, kau yang terindah…,” bisik Hemingway. Aku tertegun. Terperangah.
yang berkuasa
Kulihat pelangi! Keindahan itu! Kesejatian yang selalu kunanti kala para manusia berada di dekatku!
Seorang dara kurus hitam, dengan kerudung compang- camping dan pakaian berlumuran tanah dan darah menatap- ku lama.
Aku tercenung.
“Salam selamat sejahtera wahai semesta…,” lirihnya.
Gagap kujawab salamnya lewat deburan. Angin malam berembus menyahut pedih.
Lalu dengan langkah gontai, ia kian mendekat. Memba- suh seluruh anggota badannya dengan menyebut asma-asma Allah.
Aku tersentak. Gemuruh. Ia berwudu!
Sepertiga malam saat ini. Waktu di mana para malaikat turun ke bumi, menyaksikan hamba-hamba pilihan-Nya ber- munajat.
Kulihat wanita itu salat beralas kain lusuh. Sendiri, di antara keluhan dan erangan ratusan ribu orang yang bergelimpang- an. Air matanya menetes-netes. Tubuhnya mulai limbung. Ia masih berdiri melanjutkan rakaat demi rakaat.
Aku rindu pemandangan ini. Aku rindu kehadiran hamba sejati-Mu. Selama ini yang datang kemari adalah para Ro- man, Kimbanguist atau orang-orang animis dinamis. Aku rindu kaum muslimin yang hanya sepuluh persen berada di dua negeri yang berbatasan ini. Aku rindu sekali….
Terus kupandangi wanita itu. Baju dan kerudungnya ber- kibaran di tiup angin dini hari. “Kau yang terindah,” bisikku. “Bahkan aku tak perlu pelangi kala kau di sini….”
Dini hari kelima. Kulihat pemandangan yang sama. Mu- najat yang mengentak-entak sukmaku.
“Ya Allah, engkau menyaksikan, ketika suku Hutu mem- bantai suku Tutsi. Kau tahu banyak di antara kami yang tidak turut berbuat keji seperti itu. Ya Allah, Arrahman Arrahim, kini suku Tutsi membalas suku Hutu. Kau tahu, banyak pula di antara kaum Tutsi yang tak menginginkan pembantaian itu. Ya Allah, hilangkan hasad, iri dengki di antara kami yang menjadi penyebab semua tragedi ini. Beri kami hidayah-Mu, keabadian Islam dan hakikat persaudaraan. Kau menyaksikan bahwa aku bukanlah bangsa Hutu, Tutsi atau Pygmi. Aku hanya hamba yang tunduk patuh, menyerah pada-Mu….” Aku terenyuh. Terhempas-hempas.
Erangan, teriakan dan caci maki mewarnai malam. Dara itu tak lepas berdoa. Kian lama suaranya kian lirih. Kian pe- lan hingga tak terdengar….
Fajar ketujuh kehadiran mereka.
Saat banyak di antara mereka yang sudah tak bernyawa, bantuan kemanusiaan datang. Ratusan tubuh yang menjelma tengkorak hidup, tanpa memedulikan lalat-lalat lapar yang menghinggapi mereka, saling dorong, saling sikut, saling cakar dan injak, untuk mendapat sepotong roti. Mereka benar-benar
menjelma liar dan rakus. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, bahkan banyak yang mencoba merebut makanan orang yang berada di dekatnya. Lalu perkelahian massal pun tak terhindar- kan.
Para pasukan UNHCR, Perancis dan Zaire mencoba me- nertibkan. Dan saat dengan senjata mereka disuruh berbaris antre, kulihat gadis berkerudung itu hampir berada paling be- lakang. Dia menunduk dan tak henti komat-kamit. Tubuhnya tampak semakin lunglai.
Lepas Isya, gadis tersebut telah berada di barisan paling depan. Berhadapan dengan beberapa petugas sosial berwajah garang. Dan ketika diangkatnya tangannya untuk menerima sepotong roti, tiba-tiba ia terjatuh begitu saja. Tak bangun lagi. Sementara… orang-orang di belakangnya terus bergerak, berderak maju! Ia…, gadis itu…, terinjak-injak…!
“Kivu, kau yang terindah,” bisik Hemingway.
Aku ingin menangis, namun danau tak dapat menangis.
Keindahanku yang dipuji olehmu tahun 1957 itu telah sir- na, Hemingway. Tubuh-tubuh kaku yang sakit dan lapar ber- tumpuk di sekitarku. Puluhan orang tewas menenggelamkan diri di sini karena tak kuat menahan derita. Sampah-sampah kotor dan menjijikkan pun mengambang pada tubuhku.
Mungkin keindahan yang tersisa hanyalah, sesosok jasad yang beristirahat di sini. Seorang dara tulus dalam husnul khoti- mah. Orang-orang membuang mayatnya pada tubuhku tanpa upacara kematian.
***
Cipayung, 1995.