Halaman
191
Tanggal Terbit
2009
ISBN
9789791915441
Penerbit
ANPH
Sebuah rumah imut dengan dinding hijau berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari dan halaman mungil berumpun melati
Apa lagi?
Rara, anak perempuan berusia sembilan tahun itu terus menggambari belakang kertas bungkus cabai, yang diambilnya dari los sayur Yu Emi. Sebuah pensil pendek terselip di jarinya. Mata Rara masih memandangi gambar rumah mungil, yang menjadi impiannya. Mulut kecilnya menyumbang senyum. Manis.
“Mak, kapan kita punya rumah?”
Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, pertanyaan itu kerap disampaikannya pada Emak. Mulanya perempuan berusia empat puluh limaan, yang rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan membuat ia dan lakinya, hanyut dalam kepanikan setiap hari, akan apa yang bisa dimakan anak-anak esok. Maka pertanyaan apa pun dari anak-anak, lebih sering hanya lewat di telinga. “Mak, kapan kita punya rumah?”
Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang pertanyaan serupa. Dan kali ini, ia berhasil mendapat perhatian lebih dari Emak. Sambil menyandar- kan punggungnya di dinding tripleks mereka yang tipis, Emak menatap sekeliling. Matanya menyenter rumah kotak mereka yang empat sisinya terbuat dari tripleks. Hanya satu ruangan, di situlah mereka sekeluarga, ia, suami dan lima anaknya sekarang empat-memulai dan mengakhiri hari- hari. Tak ada jendela, karena rumah-rumah di kolong jembatan jalan tol menuju bandara itu terlalu berdempet. Bahkan nyaris tak ada celah untuk sekadar lalu lalang, ke- cuali gang senggol yang terbentuk tak sengaja akibat ketidakberaturan pendirian rumah-rumah tripleks disana.
Beberapa yang beruntung mendapatkan tiang rumah yang lebih kokoh, langsung dari beton tebal yang me- nyangga jalan tol di atas mereka. Kamar mandi? Ada MCK umum yang biasa mereka pakai sehari-hari. Cukup bayar tiga ratus rupiah, sudah bisa mandi puas.
Belasan tahun mereka tinggal di sana. Tidak perlu bayar pajak, hanya uang sewa tiap bulan
yang disetorkan ke Rozak, Ketua RT mereka, sekaligus orang paling ber
kuasa di perkampungan sini, juga uang listrik ala kadarnya. Memang semua sangat sederhana, tapi baginya tempat tinggal ini tetap….
“Ini rumah kita, Ra!”
Rara menggeleng. Ekor kuda di kepalanya yang ke- merahan, karena sering ditempa garang matahari ber- goyang beberapa kali. Di benaknya bermain bayangan rumah tinggal yang diimpikannya:
Sebuah rumah imut
dengan dinding kehijauan berlumut, Jendela-jendela besar yang menjaring matahari dan halaman mungil berumpun melati
Emak tampak kaget dengan tanggapan anaknya. “Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!” “Bisa. Besok kita minta abangmu buatkan jendela satu, ya? Kecil saja tak apa, kan?” ujar Emak sambil tertawa. Ke mana jendela itu akan menghadap nanti? pikirnya, ke rumah Mas Dadang, tetangga merekakah? Apa iya mereka mau diintip kegiatannya setiap hari?
Tapi siapa tahu. Paling tidak hal itu mungkin bisa membuat Rara senang. Kalau dia menolak mengamen di perempatan lampu merah nanti, apa tidak repot?
Anaknya lima orang. Yang tertua jadi tukang pukul di tempat Mami Lisa, kompleks pelacuran dekat tempat
tinggal mereka. Anak kedua, entah apa kerjanya, kadang pulang, lebih sering menghilang. Anak yang ketiga perem- puan, sebetulnya dulu rajin sekolah, apa daya ia tak sanggup lagi menyekolahkan si Asih. Jadilah gadis lima belas tahun itu drop out dari sekolah, dan sekarang kabar- nya sudah jadi anak buah Mami. Entahlah. Anaknya yang keempat, bocah laki-laki, selisih dua tahun dari Rara, tewas dua bulan lalu, dengan luka di bagian leher dan anus. Mungkin jadi korban laki-laki gendeng yang suka me- nyantap anak-anak kecil.
Rara anaknya yang bontot. Keras kepala dan punya ke- inginan kuat. Sekarang masih sekolah di madrasah ibtidaiyah, itu pun karena kebaikan hati kakak pengajar sana, ia tak harus membayar sepeser pun. Syukurlah. “Jendelanya bisa masuk matahari, enggak, Mak?” Rara menggoyang bahu Emaknya. Tapi kali ini perem- puan yang melahirkannya itu hanya menghela napas berat, dan meninggalkan Rara dengan bayangan jendela-jendela besar yang menjaring sinar matahari.
Di Madrasah, sorenya. “Kata Mak, rumahku akan punya jendela!”
Rara berbisik ke telinga teman sebangkunya. Di se- kitarnya, kawan-kawan sedang mengikuti surat Al-Ma’un, yang diucapkan Kak Romlah.
“Yang bener, Ra?”
Dua bola mata bulat milik Inah membesar. Ia ikut senang jika impian Rara terwujud. Sejak dulu Rara sering
bicara soal keinginannya memiliki rumah kecil dengan jendela-jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalamnya.
“Kita bisa hemat listrik! Enggak usah idupin lampu lagi kalo siang!”
Rara menambahkan. Giginya yang kecil-kecil tampak seiring senyumnya yang lebar.
“Bisa belajar di sana dong?”
“Iya! Enggak harus ke gardu dulu untuk baca buku. Kan udah terang?”
Senyum lebarnya terkembang lagi. Inah tampak ikut
senang.
“Aku mau minta ibuku bikinin jendela juga, ah!” “Aku juga!”
“Apa? Jendela di rumah Rara?”
“Gue juga deh. Mau bilang Bapak!” “Enak ada jendela!”
Tiba-tiba suasana kelas riuh seperti pasar. Berita Rara
yang rumahnya akan punya jendela menyebar luas. Ter- nyata apa yang diinginkan gadis kecil itu juga menjadi mimpi anak-anak yang lain.
“Jendelaku nanti paling besuar!”
Ipul, anak salah satu karyawan Mami Lisa, mengakhiri obrolan mereka sore itu sepulang dari madrasah.
“Jadi bikin jendela, Ra?”
Bang Jun, mencolek pipinya. Mata laki-laki berusia dua puluh tahun itu mengamati hasil coretan adiknya.
“Udah malam kok belum tidur?”
Rara tidak menjawab. Tangannya masih asyik menari- nari di atas secarik kertas usang yang diambilnya lagi dari Yu Emi.
“Eh, itu gambar apa, Ra?” komentar abangnya lagi. “Jendela? Kok gede banget!”
Rara menghentikan kegiatan menggambarnya. Bola matanya yang cokelat menatap Bang Jun yang perhatian- nya terpusat pada gambar. Gadis kecil itu menganggukkan kepala. Senyumnya cerah.
“Jadi kan, Bang Jun bikinin Rara jendela?” kalimatnya dengan tatapan penuh harap.
Jun hanya menatap Emak dan Bapak yang tiduran di atas sehelai tikar usang. Wajah kedua orangtuanya itu tampak letih. Pastilah. Bukan pekerjaan ringan mencomoti barang dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Belum jika hasil mulung Bapak, ternyata besi-besi tua. Memang bawa untung yang lebih besar. Tapi berat yang dipikul juga jelas jauh dibandingkan sampah botol plastik atau barang-barang lain. Malah akhir-akhir ini cuaca makin panas saja.
“Bang….”
Rara menarik kaus oblong yang dipakai abangnya. Be- berapa saat Rara dan abangnya bertatapan, dengan pikiran
masing-masing yang tak terpantulkan. Tapi keheningan mereka segera buyar oleh langkah-langkah yang terdengar dari depan. Asih muncul di balik pintu. Matanya yang sayu segera saja menatap keduanya tak semangat.
“Masih ngeributin soal jendela?”
Rara tak menjawab, tangannya meraih tas murahan yang dibawa Asih. Dengan sigap, gadis kecil itu mengambil air di teko dan mengulurkan ke kakaknya. Tapi Asih yang mulutnya bau minuman keras itu menepis.
“Gue ngantuk. Malah tadi laki-laki yang gue temenin minumnya kuat banget. Mau nolak, enggak enak sama Mami.”
“Bilang aja lo sakit, Sih! Tadi aja gue pulang duluan. Lagian pegawai Mami Lisa kan enggak cuma elo.”
“Iya, tapi itu kan sama aja nolak rezeki!
Rara diam, mendengarkan saja percakapan kedua Naudaranya. Tapi kalimat kakaknya barusan, mengusiknya untuk menimpali, “Kata guru Rara di madrasah, rezeki kan dari Allah, Kak. Bukan dari tamu!”
Kalimat lugu yang dengan cepat dipatahkan kakaknya.
“Ahh, anak kecil sok tau. Tunggu nanti kamu gede, baru ngerasain. Hidup tuh cari yang haram aja susah, apalagi yang halal!”
Rara menundukkan kepala. Kakaknya dulu lembut dan baik hati. Sempat juga ngaji di madrasah seperti dia. Tapi setelah putus sekolah dan jadi karyawan di tempat
Mami, gadis berkulit hitam manis itu berubah. Dandanan makin menor. Ke mana-mana pake kaus dan celana panjang serbaketat. Omongannya juga jadi kasar.
Rara tahu, tidak cuma kakaknya yang berubah. Tapi juga kakak si Inah, ibu si Ipul, dan banyak lagi. Konon mereka dulu juga anak madrasah. Tapi daya tarik rumah pelacuran, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari madrasah, terlalu menggoda. Itu jalan pintas dapat duit. Realitas masyarakat di sudut-sudut Jakarta yang bukan tidak diketahui orang.
Rara tercenung. Mungkin benar hidup jadi orang dewasa itu sulit, pikirnya. Mungkin itu sebabnya mereka jarang tersenyum.
“Ra! Kalo mau punya jendela, modal sendiri dong!” lantang suara kakaknya mengagetkan Rara.
“Asih!”
Asih yang mabuk terus bicara dan tak menggubris teguran Jun.
“Kebutuhan tuh banyak. Udah bagus gue sama Jun kerja. Pake buat yang lebih penting dong!” cerocos Asih, tangannya menjewer kuping Rara.
Rara tak gentar. Matanya yang jernih menatap lurus ke arah Asih yang mulai menyalakan rokok dan meng hirupnya nikmat. Bagaimanapun Kak Asih harus tahu kalo jendela itu….
“Jendela itu penting, Kak. Buat keluar-masuk udara. Terus kalo siang kita enggak perlu nyalain lampu. Udah
terang karena sinar matahari yang masuk!” jawab Rara tak kalah keras.
“Tapi banyak yang lebih penting dari jendela,” Asih tak mau kalah, “Makan kamu misalnya!” lanjutnya kesal. Bayangkan, ia sudah capek-capek tiap malam, kadang lembur merelakan badannya melayani empat tamu dalam semalam. Apa adiknya itu tahu?
“Tapi kata Emak, Bang Jun bakal bikinin Rara jendela. Ya, kan, Bang?”
Suara Rara lirih, bercampur isakan. Jun yang melihat- nya jadi tidak tega. Tangan cowok itu membelai-belai ke- pala adiknya. Lalu menatap Rara lunak.
“Iya. Tapi Rara juga ikut kumpulin duit, ya? Jangan dipake jajan! Kita perlu uang untuk beli kayu, kaca, bikin kusennya…”
“Dan itu mahal, tau, Ra!”
“Ssst… Asih!”
Keributan yang kemudian tak terelakkan antara Jun dan Asih, membuat Rara melarikan diri ke sudut rumah. la berjongkok sendiri, mata cokelatnya berkaca. Ber- tambah-tambah perasaan gundahnya kala Bapak ter- bangun lantaran suara berisik yang timbul, lalu me- nempeleng keduanya.
Dan semua gara-gara jendela besar Rara.
Ahh. Rara mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Besok ia akan mengamen lebih giat. Kalau perlu sambil jual
koran, semir sepatu, atau membersihkan kaca mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Apa saja, pikir Rara.
Belakangan, lelah dan air mata membuat Rara tertidur. Pikiran kanak-kanak membawanya pada impian. Malam itu Rara bermimpi menari di antara jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar matahari padanya. Juga kerlip bintang-bintang malam hari.
Selama seminggu lebih, Rara berhemat. Ia bahkan menghemat mandi, sehari sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah di sakunya. Uang perolehannya ngamen dan bekerja di perempatan, tak dipakainya sesen pun untuk beli es mambo di warung, kwaci, permen, dan jajanan lain. Ia betul-betul berhemat.
Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut hemat gadis kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah jendela yang besar. Bahkan jika tidak ada halangan, lusa mungkin ia sudah bisa menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di rumah mereka. Membayangkan itu, perasa- an Rara makin tak keruan. Seperti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi.
“Assalamu’alaikum! Emak?”
Rara menghambur ke arah Emak yang sedang me- nyapu lantai. Bohlam sepuluh watt, mengalirkan hawa panas yang merembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih terang.
“Mak, sini.”
Rara menyeret tangan perempuan itu, memaksanya duduk di bangku kayu yang satu kakinya telah patah. “Apaan sih, Ra?”
Emak menatap anak bungsunya dengan pandangan sedikit cemas. Apa lagi sekarang? Baru semingguan ia me- rasa lega, karena Rara tidak lagi mengutarakan keinginan- nya untuk punya jendela. Yang dikatakan bapaknya si Rara memang benar. Anak kecil enggak usah terlalu dianggap serius. Mereka kadang memang menggebu-gebu minta sesuatu. Namun biasanya, keinginan itu juga cepat me- nguap dan hilang dari ingatan.
Rara masih memandang Emak dengan mata ber- cahaya. Keriangan anak-anak terpancar di wajahnya yang oval.
“Mak, tebak!”
“Apaan?”
Aduh, jangan soal jendela lagi. Jangan-jangan dia minta punya dua pintu lagi? Atau kamar sendiri? Batin pe- rempuan itu sedikit cemas.
Rara menyerahkan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah keringat.
“Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih geseng, bukan karena main, Mak! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita!” papar gadis kecil itu ceriwis.
Jendela?
koran, semir sepatu, atau membersihkan kaca mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Apa saja, pikir Rara.
Belakangan, lelah dan air mata membuat Rara tertidur. Pikiran kanak-kanak membawanya pada impian. Malam itu Rara bermimpi menari di antara jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar matahari padanya. Juga kerlip bintang-bintang malam hari.
Selama seminggu lebih, Rara berhemat. Ia bahkan menghemat mandi, sehari sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah di sakunya. Uang perolehannya ngamen dan bekerja di perempatan, tak dipakainya sesen pun untuk beli es mambo di warung, kwaci, permen, dan jajanan lain. Ia betul-betul berhemat.
Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut hemat gadis kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah jendela yang besar. Bahkan jika tidak ada halangan, lusa mungkin ia sudah bisa menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di rumah mereka. Membayangkan itu, perasa- an Rara makin tak keruan. Seperti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi.
“Assalamu’alaikum! Emak?”
Rara menghambur ke arah Emak yang sedang me- nyapu lantai. Bohlam sepuluh watt, mengalirkan hawa panas yang merembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih terang.
“Mak, sini.”
Rara menyeret tangan perempuan itu, memaksanya duduk di bangku kayu yang satu kakinya telah patah. “Apaan sih, Ra?”
Emak menatap anak bungsunya dengan pandangan sedikit cemas. Apa lagi sekarang? Baru semingguan ia me- rasa lega, karena Rara tidak lagi mengutarakan keinginan- nya untuk punya jendela. Yang dikatakan bapaknya si Rara memang benar. Anak kecil enggak usah terlalu dianggap serius. Mereka kadang memang menggebu-gebu minta sesuatu. Namun biasanya, keinginan itu juga cepat me- nguap dan hilang dari ingatan.
Rara masih memandang Emak dengan mata ber- cahaya. Keriangan anak-anak terpancar di wajahnya yang oval.
“Mak, tebak!”
“Apaan?”
Aduh, jangan soal jendela lagi. Jangan-jangan dia minta punya dua pintu lagi? Atau kamar sendiri? Batin pe- rempuan itu sedikit cemas.
Rara menyerahkan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah keringat.
“Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih geseng, bukan karena main, Mak! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita!” papar gadis kecil itu ceriwis.