JARING-JARING MERAH

Penulis : Helvy Tiana Rosa

Penerbit : Gramedia

Halaman

167

Tanggal Terbit

2014

ISBN

9786020308319

Penerbit

Gramedia

Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.

Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bu- kan pada rembulan yang mengikutiku saat ini atau pada gu- gusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.

Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan sepanjang tiga kilometer dari Seurueke, menuju Bu- ket Tangkurak, bebukitan penuh belukar dan pepohonan ini. Dadaku telah amat sesak, tetapi langkahku makin kupercepat.

Lolong anjing malam bersahut-sahutan, seiring darah yang terus menetes dari kedua kakiku. Perih. Air mataku ber- derai-derai.

“Ugh!”

Aku tersandung gundukan tanah. Dalam remang malam, kulihat dua ekor anjing hutan mengorek-ngorek sesuatu, dan pergi sambil menyeret potongan mayat manusia. Mereka menatapku seolah aku akan berteriak kengerian.

Ngeri?

Oi, tahukah anjing-anjing buduk itu, aku melihat tiga sam-

pai tujuh mayat sehari mengambang di sungai dekat rumahku! Aku juga pernah melihat Yunus Burong ditebas lehernya dan kepalanya dipertontonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang-orang ditembak di atas sebuah truk kuning. Darah me- reka muncrat ke mana-mana. Aku melihat tetanggaku Rohani ditelanjangi, diperkosa beramai-ramai, sebelum rumah dan suaminya dibakar. Aku melihat saat Geuchik Harun diikat pada sebuah pohon dan ditembak berulang kali. Aku melihat semua itu! Ya, semuanya. Juga saat mereka membantai… keluargaku, tanpa alasan.

Ffffffbuuib, kutarik napas panjang. Jangan menangis lagi, Inong! Kering air matamu nanti. Meski lelah, lebih baik me- niru anjing-anjing itu.

Aku merangkak dan maju perlahan. Dengan tangan ko- song kuraup gundukan tanah merah di hadapanku. Terus tanpa henti kugunakan kedua cakar tangan ini. Keringatku mengucur deras, wajah dan badanku terkena serpihan tanah merah. Sedikit pun tak kuhiraukan bau bangkai manusia yang menyengat hidung.

Tiba-tiba tanganku meraba sesuatu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Banyak tulang. Cakarku te- rus menggali. Kutemukan beberapa tengkorak, lalu remah- remah daging manusia. Ah, di mana? Di mana tangan kurus Mak? Mana jari manis dengan cincin khas itu? Juga cincin tembaga berbatu hijau dan arloji tua yang dikenakan ayah saat orang-orang bersenjata itu membawanya dalam keadaan luka parah. Di mana? Di mana tangan-tangan mereka? Di mana tulang-tulang mereka ditanam? Di mana wajah tampan Hamzah? Yang mana tengkoraknya?

Sekujur tubuhku gemetar menahan buncahan duka. Aku menggali, terus menggali. Hingga aku semakin lemas dan akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang kasihi, yang beberapa waktu lalu digiring ke bukit ini. Sssssssttt!

Tiba-tiba, di antara suara serangga malam, kupingku men- dengar langkah-langkah orang. Sepatu-sepatu lars yang meng- injak ranting dan daun kering. Mereka menuju ke arahku!

Aku harus menyanyi. Ya, menyanyi nyaring, dengan iring- an dawai kepedihan dari sanubari sendiri.

“Perempuan gila itu!” suara seseorang gusar. “Sayang, dulu ia cantik…,” ujar yang lain.

“Ya, juga sangat muda. Ah, sudahlah, biarkan saja,” kata yang ketiga. “Ia tak berbahaya. Hanya tertawa dan menangis.”

Aku pura-pura tidak mendengar perkataan si loreng-loreng itu. Mereka gila karena mengira aku gila. Tak tahukah mere- ka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku bernyanyi bersama bulan, awan dan udara malam. Bersama desir angin, burung hantu dan lolong anjing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami menyanyi, kami menari Bungong Jeum- pa. Lalu aku tersenyum malu, saat Hamzah yang telah memi- nangku, melintas di depan rumah dengan sepedanya. Dahulu. Ya, dahulu….

“Inong….”

***

Aku menggeliat. Cahaya mentari masuk dari celah-celah bilik. Hangat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…, ya, aku di rumah. Aku bangkit, mencoba duduk.

“Dari mana, Inong? Aku mencarimu seharian. Ureung-

ureung menemukanmu di tepi jalan ke Buket Tangkurak, subuh tadi.”

Kutatap seraut wajah dalam kherudoung putih di hadapan- ku. Cut Dini. Tangannya lembut membelai kepalaku.

“Aku cuma jalan-jalan. Aku tidak mengganggu orang,” jawabku sekenanya.

“Aku tahu. Kau anak baik. Kau tak akan mengganggu siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Berbahaya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sendirian,” kata Cut Dini sambil memberiku minum.

Kugaruk-garuk kepalaku. “Therimoung… ghaseh….,” kute- guk minuman itu.

Cut Dini. Ia sangat peduli. Matanya pun selalu menatapku penuh pancaran kasih.

Aku kembali merebahkan badan di atas dipan. Sebenarnya aku tak tahu banyak tentang Cut Dini. Aku belum begitu lama mengenalnya. Orang-orang bilang ia anggota… apa itu… LSM? Juga aktivis masjid. Ia kembali ke Aceh setelah tamat kuliah di Jakarta. Dan… cuma dia, di antara para te- tangga, yang sudi berteman denganku. Ia memberiku makan, memerhatikanku, menceritakan banyak hal. Aku senang se-

kali.

Dulu, setelah keluargaku dibantai dan aku dicemari be- ramai-ramai, aku seperti terperosok dalam kubangan lumpur yang dalam. Sekuat tenaga kucoba untuk muncul, mengga-

pai-gapai permukaan. Namun tiada tepi. Aku tak bisa bang- kit, bahkan menyentuh apa pun, kecuali semua

bernama yang kepahitan. Aku memakan dan meminum nyeri setiap hari.

Sampai aku bertemu Cut Dini dan bisa menjadi burung. Se- galanya terasa lebih ringan.

Tetapi tetap saja aku senang berteriak-teriak. Aku melem- pari atau memukul orang-orang yang lewat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan memasungku. Kata mereka aku gila! Hah, dasar orang-orang gila! Cut Dini-lah yang me- larang. Cut Dini juga yang mengingatkanku untuk mandi dan makan. Ia menyisir rambutku, mengajakku ke dokter, ke pengajian, atau sekadar jalan-jalan.

“Baju yang koyak itu jangan dipakai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.

“Aku suka,” kataku pendek. “Ini baju yang dijahitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu datang.”

“Itu baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menyakitimu lagi,” katanya pelan.

Kupandang baju ungu muda di tanganku. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah kering di sana.

“Aku ingin memakainya,” lirihku. “Apa aku gila?” tanyaku. Cut Dini menatap bola mataku dalam. “Menurutmu?” Aku menggeleng kuat-kuat. Menggaruk-garuk kepalaku. “Kau sakit. Kau sangat terpukul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia menggigit bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan membung- kus baju itu dengan koran.

Aku mengangguk-angguk. Terus mengangguk-angguk, sambil menggoyang-goyangkan kedua kakiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.

“Sudahlah.”

Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Alquran mu-

ngilnya dan membacanya dengan syahdu. Suaranya kadang berubah. Aku seperti mendengar Hamzah mengaji — lewat pengeras suara di musala.

Ah, meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap men- dengar bacaan Alquran.

***

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, se- muanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua… ha… ha, aku tertawa gelak-gelak.

“Siapa kalian?” tiba-tiba kudengar suara Cut Dini berge- tar, di ruang tamu yang merangkap kamar tidurku.

Aku terbang dan hinggap pada meja kusam di samping rumah, lalu mengintip ke dalam lewat jendela yang rapuh. Dua lelaki tegap dengan rambut cepak menyodorkan sesuatu pada Cut Dini.

“Kami orang baik-baik. Kami hanya ingin memberikan sumbangan sebesar lima ratus ribu rupiah pada Inong.”

Aku nyengir. Lima ratus ribu? Horeeee! Apa bisa buat beli sayap?

“Kami minta ia tidak mengatakan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda sebagai walinya menandatangani kertas bermaterai ini.”

Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Mengapa? Kugerak-gerakkan kepalaku menatap mimiknya, lebih lekat dari jendela.

“Tidak! Bagaimana dengan pemerkosaan dan penyiksaan selama ini, penjagalan di rumoh geudong, mayat-mayat yang berserakan di Buket Tangkurak, Jembatan Kuning, Sungai Tamiang, Cot Panglima, Hutan Krueng Campli… dan di mana-mana!” suara Cut Dini meninggi. “Lalu perkampungan tiga ribu janda, anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!”

Kedua orang itu tampak gugup dan sesaat saling ber- pandangan. “Kami hanya menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga keamanan masyarakat.”

“Oh ya?” nada Cut Dini sinis. “Kenyataannya masyarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang terpaksa menjadi cuak, memata-matai dan menganggap teman sendiri sebagai pengi- kut Hasan Tiro dari Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.” “Sudahlah, ambil saja uang ini buat anda. Lupakan saja gadis gila itu.”

Apa? Gadis gila? Kukepakkan sayapku dan menukik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka dengan apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki mereka dengan panci dan penggoreng- an. Mereka berteriak-teriak seperti anak kecil dan berebutan keluar rumah. Pasti itu ayah orang yang memperkosaku! Pasti ia teman para pembunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka menakut-nakuti orang! Paling tidak mereka cuak! Aku benci cuak!

“Inong….”

Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di kejauhan.

“Masya Allah, nanti perabotan itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau sholat Lohor dulu,” katanya.

“Mengapa aku tak pernah diajak sholat?” protesku. “Dulu aku sholat bersama keluargaku, sebelum aku bisa jadi burung,” tukasku.

“Jangan menjadi burung, bila ingin sholat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.

***

“Keluar, Zakariaaa! Keluar! Atau kami bakar rumah ini!!” Aku terbangun dan mengucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-gedor. Ayah berjalan ke arah pintu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.

Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret keluar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang mengangkat Mak dan mem- bawanya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berzikir. Zikir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.

“Ini pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang lelaki berseragam. Kurasa ia seorang pemimpin. “Zakaria dan kelu- arganya membantu anak buah Hasan Tiro sejak lama!”

Warga desa menunduk. Mereka tak mampu membela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Puluhan orang ini telah membakar beberapa rumah!

“Jangan ada yang menunduk!”

Aku gemetar mendengar bentakan itu.

“Ayo lihat mereka. Kalian sama dengan warga Mane… bekerja sama dengan GPK!” suaranya lagi.

“Kami bukan GPK!” suara Ma’e. “Ulon hana teupheu sap- beu!”

“Lepaskan mereka. Kalian salah sasaran!” Ya Allah, itu suara Hamzah!

“Angkut orang yang bicara itu!”

Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga lim- bung, lalu… ia diinjak-injak! Dan diseret pergi. Air mataku menderas.

“Siapa lagi yang mau membela?” tantang lelaki penyiksa itu pongah.

“Kami tidak membela, mereka memang bukan orang ja- hat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria hanya seorang mu- adzin. Jiibandum ureung biasa.” Samar-samar kulihat kepala desa kami itu diikat pada sebatang pohon.

Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e, abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlu- muran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.

“Bawa mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!” Aku meronta, menendang, menggigit, mencakar, hingga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat merejam-rejam tubuhku! “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” aku berteriak sekuat-kuatnya. “Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!” Dua tangan mengguncang-guncang badanku.

Air mataku menganak sungai, tetapi aku tak bisa bangun, sebab aku berada di dalam jaring! Banyak orang-orang seperti- ku di sini, di dalam jaring-jaring merah ini.

“Inong, istighfar….”

Tangan-tangan raksasa itu mengayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini berjatuhan ke sana kemari. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloooooong! Di mana sa- yapku? Di mana? Di mana tangan Mak dengan cincin khas di jari manisnya? Aku ingin menggenggamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?

Tangan-tangan raksasa itu menggerakkan jaring ke sana kemari. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah- wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, terkelupas dan berdarah. Aku menjerit-jerit dalam perangkap. Di mana sayapku? Aku ingin terbang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah kebanggaanku hanya tersisa nestapa!

Tak ada yang mendengar. Sebuah pelukan yang sangat erat kurasakan. Lalu air mata seseorang yang menetes-netes dan bercampur dengan aliran air di pipiku.

“Allah tak akan membiarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sembuh, Inong! Semua sudah berlalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Tegar, Inong! Tegar! Laa haula walaa quwwata illa billah….”

Kabur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus dengan keru- dung putih itu. Ia mengusap air mataku.

Lalu tak jauh di hadapanku, kulihat beberapa orang. Di an- taranya berseragam. Tiba-tiba takutku naik lagi ke ubun-ubun. Aku menggigil dan mendekap Cut Dini erat-erat.

“Ia hanya satu dari ribuan korban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami keadilan. Bapak sudah lihat sendiri. Ok- num-oknum itu menjarah segalanya dari perempuan ini!”

Takut-takut kuintip lelaki tegap yang sedang menatapku ini. Apakah ia membawa jaring-jaring untuk menangkapku lagi?

“Pergiii! Pergiii semuaaa!” teriakku. “Pergiiiii!” aku men- jerit sekuat-kuatnya. “Pergiiii!” Aku menceracau. Sekujur ba- danku bergetar, terasa berputar. Orang-orang ini tersentak, menatapku kasihan. Hah, apa peduliku?! Aku ingin berteriak, mengamuk, memorak-porandakan apa dan siapa pun yang ada di hadapanku! Aku….

Tiba-tiba suaraku hilang. Aku berteriak, tak ada suara yang keluar. Aku menangis tersedu-sedu, tak ada air mata yang mengalir. Aku mengamuk panik, tetapi kaku. Aku men- cari bunyi, mencari bening, mencari gerak. Tak ada apa pun. Cuma luka nganga.

“Inong…, mereka akan membantu kita….”

Aku terkapar kembali. Menggelepar. Berdarah dalam ja- ring.

Keterangan:

Buket tangkurak               : bukit tengkorak

Geuchik                               : kepala desa

Cuak                                    : orang yang jadi mata-mata tantara

Mane                                   : nama desa di pidie

Ureung-ureung                 : orang-orang

That                                     : sekali

Jibandum ureng biasa     : mereka orang biasa

Therimoung ghaseh         : terima kasih

Kherudoung                       : kerudung

***

Cipayung, Juli 1998

Update Cerpen

Pesan Buku JARING-JARING MERAH