Halaman
191
Tanggal Terbit
2009
ISBN
9789791915441
Penerbit
ANPH
Berapa banyak perempuan dalam hidupmu, Bang?
Berapa yang kau butuhkan?
Sebut aku naif, tapi dulu sekali, selain ibumu, kukira hanya aku. Maka bisa dibayangkan betapa harapanku me- lompat hingga menyentuh bintang, ketika suatu hari dengan mata penuh cinta, kau berkata,
“Jadilah istriku!”
Cukup lama aku hanya terdiam. Bukan karena memikirkan bagaimana harus merespon kalimatmu, namun karena aku memerlukan waktu untuk mengusir rasa terkejut. Sungguhkah yang kudengar?
Dibandingkan dirimu, aku sungguh bukan siapa- siapa. Kau dengan selangit prestasi, yang begitu populer tidak hanya di fakultas, bahkan seisi kampus. Kau yang mantan ketua senat dan sudah mapan ketika kuliah tingkat satu.
Sedang aku hanyalah gadis sederhana, yang tidak populer, tidak pernah memenangkan satu piala pun dalam hidup, dan harus hengkang dari kuliah karena ketiadaan biaya.
Matamu yang tajam tampak panik beberapa kejap, menyadari tak satu kata pun kuucapkan, meski menit-menit berlalu.
“Jadilah istriku!” ulangmu penuh kesungguhan.
Tuhan, ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan, batinku sambil menatap rambutmu yang hitam berombak.
Ingatkah Bang, berapa lama kita mematung kala itu. Hanya terdengar helaan napas masing-masing. Kau yang bingung akan kediamanku, dan aku yang harus menata keyakinan diri.
Maafkan aku. Sebab membiarkanmu mengulangi kalimat indah hingga tiga kali, sebelum aku yakin, aku tidak sedang bermimpi.
Ah, berapa banyak perempuan dalam hidupmu, Bang?
Dulu kukira hanya aku. Hingga resahmu memecah- kan batu kediaman. Pengakuan yang mengagetkan, dan rasanya akan sulit dipercayai siapapun yang mengenalmu.
“Aku… pernah menikah sebelumnya, Tya.” ujarmu dengan kalimat putus-putus, tiga hari menjelang per- nikahan kita.
Kali ini aku berharap sedang tidur dan bermimpi. Nyatanya tidak. Kepalaku yang menunduk, masih dapat menekuri butiran-butiran tanah merah di belakang rumah. Beberapa saat kita hanya berdiam diri, menikmati deburan hati satu sama lain. Kau dengan perasaan bersalahmu, dan aku dengan sebersit rasa kecewa. Sebab aku bukan yang pertama.
“Tapi itu sebuah kesalahan,” lanjutmu berusaha me- yakinkan, dan mengusir embun yang memberat di mataku.
“Kami masih muda, Tya. Dan ketika itu aku tidak se- perti sekarang. Terlalu sering kami berdua, hingga me- lakukan kesalahan itu. Maafkan aku.”
Ego keperempuananku terusik. Begitu saja batinku me- lontarkan sederet pertanyaan. Siapa perempuan itu? Bidadari pertama yang menghangatkan hatimu. Cantikkah dia? Kenapa kalian berpisah?
“Belakangan kami sama-sama sadar, Tya. Tidak ada cinta. Yang ada hanya gejolak anak muda. Kami bercerai setelah tiga bulan pernikahan dengan kehangatan yang lama-lama meredup.”
Aku masih diam. Dalam imajinasiku tanah-tanah tempat kaki-kaki kita menapak seakan rekah dan me- ninggalkan jurang yang lebar. Memisahkan kau dan aku. Tapi layakkah menghukum seseorang berdasarkan masa lalu?
“Maafkan aku,” sesalmu lagi, dengan mata yang tampak memerah, ketika sekilas tadi tatapanku singgah di wajahmu.
Betapapun, perasaan beruntung dan mendapatkan anugerah, jauh lebih besar dibandingkan badai yang kau bawa di hatiku hari itu. Jangan sombong Tya. Kau sendiri siapa? Masih banyak gadis yang akan mengejar Bang meskipun tahu yang sebenarnya. Meski tahu kesalahan yang pernah diperbuatnya, dan status yang pernah disan- dangnya.
Ketika hari itu tiba kulihat wajahmu bercahaya, dan senyum lebar menghiasi di sana. Walaupun ego sebagai perempuan, kadang sulit menghilangkan keingintahuan itu.
Sebahagia ini juga kah kau dulu, Bang?
“Terima kasih, Tya. Terima kasih telah melengkapiku, Cinta.”
Kata cinta yang kau ucapkan, tak lama setelah ijab kabul selesai dan mengantarkan kita pada status yang baru. Kau suamiku, dan aku istrimu.
Setelah itu adalah hari-hari indah menjelajahi negeri peri. Berdua kita menelusuri dunia yang memberi bahagia tanpa batas. Tak ada kata-kata yang bisa kutemukan untuk menjelaskan perasaanku saat itu, ketika aku menjadi pe- rempuan satu-satunya dalam hidup Bang.
Lalu hari membuahkan minggu, dan minggu melahir- kan bulan. Begitu cepat bilangan bulan berganti tahun.
Waktu telah memberi kita bahagia yang lain. Gadis kecil kita. Cantik. Matanya mewarisi sipit matamu, dan bibirnya mewarisi mungil bibirku. Setidaknya itulah komentar per- tama yang keluar darimu ketika melihat Aulia.
Hidup tak lagi menjadi milik berdua. Tapi aku tak pernah marah pada mahluk ketiga yang hadir dalam hari- hari kita. Aulia yang begitu cepat tumbuh dan semakin menggemaskan.
“Terima kasih telah memberiku kebahagiaan sebesar ini, Cinta.”
Berulang-ulang kalimat itu kau tujukan padaku, dengan mata yang semakin dilekati cinta. Cinta yang ber- gulir dan kulihat semakin besar di matamu. Apalagi ketika sosok lain lahir dari rahimku. Gagah, lucu dan montok. Kau berikan nama Aditya untuk bayi kedua kita.
Masih ingatkah Bang, saat kita duduk di teras rumah, dengan satu sosok mungil di pangkuan kita masing- masing. Mengenalkan mereka kepada bulan, bintang dan langit juga benda-benda angkasa lainnya.
“Ayah akan bekerja lebih keras,” katamu sambil me- mandang wajah imut Aulia, yang terus berceloteh, dan Adit yang terkantuk-kantuk dalam buaianku.
“Tapi beri anak-anak waktu, terutama ibunya,” bisikku yang kau balas dengan mendekatkan wajahmu, lalu me- ngecup dahiku. Penuh cinta seperti biasa.
Hari-hari kita tetap indah, betapapun kesibukan men- jeratmu. Sebagai istri aku hanya bisa mendukung sebisa-nya. Menyiapkan kebutuhanmu sehari-hari, sebelum pergi ke kantor, menyambutmu ketika pulang. Menjaga tidur- mu ketika anak-anak rewel minta bermain dengan ayah mereka yang pulang menjelang pagi.
Di mataku kau tak pernah berubah. Masih laki-laki yang sama yang selalu jujur dalam setiap langkah. Laki-laki yang mengangkatku pada kedudukan para ratu. Begitu tinggi aku memandangmu, Bang. Sosok kukuh ber- tanggung jawab yang tak pernah sedikitpun kehilangan pe- sona di mataku.
Maka seperti petir memekakkan telinga, ketika suatu hari seseorang memberitahuku kabar itu. Kau diam-diam menjalin hubungan dengan perempuan lain.
Kupeluk anak-anak dalam tangis yang tak bisa ku- tahan. Sungguh, aku tak habis pikir. Belum lagi hilang rasa sakit akibat operasi sesar. Belum lagi kembali bentuk tubuh setelah berat badanku melonjak saat mengandung Aditya.
“Ibu kenapa?” tanya Aulia yang memasuki usia empat tahun. Jarinya yang kecil mengapus air mata yang turun di pipiku, sebagian membasahi wajah Adit, yang kuhapus dengan jemari bergetar
Semua kebahagiaan yang kurasa lebih dari sempurna, tak cukupkah bagimu? Di mana salahku?
Pada cermin lemari, kupandang tubuh yang jauh dari bentuk ideal. Ini kah penyebabnya?
“Sabar, Tya. Ini memang cobaan perempuan,” suara Ibu mertuaku parau, saat memelukku. Belakangan perem-
puan berusia enam puluhan itu menangis makin keras. Barangkali seperti aku, Ibu bisa melihat kebahagiaan kami yang pecah, seperti bintang di langit yang terbanting ke bumi. Kepingan-kepingannya melukai begitu banyak hati. “Maafkah aku, Tya. Maafkan aku, Cinta. Ini salah- ku….”
Malam itu kau memeluk kakiku. Sementara aku hanya termangu, tanpa bisa bicara. Meski cairan bening hangat yang berasal dari matamu, membasahi daster panjang yang
kukenakan.
Berapa banyak perempuan dalam hidupmu, Bang? Berapa yang kau butuhkan?
Permintaan maafmu tak mengubah keadaan. Berbulan aku larut dalam kediaman yang membuat otakku seakan berhenti berfungsi. Wajahku kuyu, dengan mata bengkak karena setiap malam menangis. Kepercayaan diriku drop. Aku merasa seperti bunga yang dipangkas dari tangkai, dan layu sebelum waktunya.
Berbulan pula kucari jawaban atas sebuah kenapa yang tak pernah bisa kau jelaskan.
Apakah karena aku sudah menjadi begitu tua, gendut dan jelek? Bagaimanapun melahirkan dua anak, telah me- renggut tubuh ramping, dan kesegaran perempuan muda.
Kepercayaan diriku terus merosot dari hari ke hari. Aku menghilang dari keramaian dan mengurung diri dalam sunyi. Meski kewajiban terhadap anak-anak tak pernah sekalipun kulupakan.
Tapi aku telah kehilangan semangat untuk melakukan apapun hingga setahun berlalu, aku belum juga berani ber- cermin dan menatap tubuhku yang tak lagi menarik.
Pasti itulah alasan kenapa suamiku jatuh cinta pada perempuan lain. Cantik, sudah kulihat foto mesra mereka berdua. Kemana sikapmu yang begitu terjaga semasa kuliah? Kenapa kini begitu mudah, menyentuh, bahkan memeluk mesra perempuan yang belum menjadi istrimu?
Tapi kalimat itu tak pernah kusampaikan padamu. Hanya menari-nari dalam pikiran yang kian kusut dari waktu ke waktu. Waktu yang kerap membawa anganku berpindah-pindah, masa lalu, masa kini, masa lalu,
“Maafkan aku, Tya. Maafkan aku, Cinta…”
Di hadapanmu aku masih larut dalam diam. Dulu sekali, suamiku menjanjikan satu hal, hanya satu hal yang kutelan mentah-mentah pada hari penuh madu yang me- mabukkan.
“Pegang kata-kataku, Tya. Selamanya, aku hanya akan memberimu kebahagiaan. Bukan yang lain. Pegang itu, ya?”
Kebahagiaan? Kata itu telah melayang jauh di antara bintang-bintang, bulan dan langit yang dulu kita kenalkan pada anak-anak saat duduk bersama di beranda rumah. Ya, ketika cinta masih bisa kupercaya.
Selama dua tahun kemudian, aku hidup dengan pe- rasaan kosong. Berulangkali berusaha bangkit, untuk dua permata kecilku yang kini memasuki usia sekolah. Tapi lebih sering gagal, hingga kulihat Aulia tiba-tiba lebih dewasa dari sebelumnya. Waktu, telah begitu lamakah berlalu?
“Bu… Ibu harus tersenyum lagi.”
Begitu kalimat Aulia sambil tangannya menarik ujung- ujung bibirku ke atas.
Ya Allah, hidup memang tak pernah mudah. Salahku yang melupakan cobaan.
Tertatih kucoba bangun dari hampa. Semua me- nyambut baik dan mendukung, juga suamiku. Tidak ku pusingkan lagi hubungan Bang dengan perempuan itu. Sampai suatu hari Ibu mertuaku datang dan membawa kabar,
“Mereka sudah putus, Tya. Sudah putus. Alham- dulillah!”
Bibirku yang kering bergerak-gerak. Ada air mata yang jatuh di sana.
“Kau tidak usah cemas, Tya,” nasihat perempuan itu lagi, “Waktu akan menyembuhkan kesedihan.”
Begitulah, pagi ini untuk pertama kali aku berani me- natap bayangan tubuhku di cermin. Entah bagaimana, sepertinya kesedihan juga telah menghilangkan sebagian berat badanku. Tentu saja mustahil mengharapkan tubuh kembali dalam kondisi seperti dulu.
“Kau harus rajin minum jamu!” kata Ibu mertuaku sambil menyodorkan segelas air berwarna kecoklatan dan berbau seperti lumpur. “Laki-laki suka dengan perempuan yang biasa minum jamu.”
Ibuku yang sejak peristiwa itu seperti ingin menjaga jarak dengan masalah pribadiku, kali ini datang dan memberiku sebuah nasihat, “Ikut senam, Tya. Banyak ibu- ibu yang rajin senam sekarang.”
Begitulah, kututup lembar kesedihan dan berusaha bangkit. Bibir yang kering mulai kusapu lipbalm. Aku se- makin sering tersenyum. Seiring waktu, jendela-jendela kamar mulai kubuka dan kubiarkan terkena cahaya matahari. Aku memutuskan keluar dari sunyi.
Bang memperlakukanku lebih hati-hati. Masih ada cinta yang berpendar di matanya. Kami mulai sering duduk berdua lagi, dan berbicara tentang anak-anak. Barangkali cuma anak-anak lah yang masih menyatukan kami hingga saat ini.
Aku memang bukan siapa-siapa. Bukan perempuan cantik dan populer yang sempat merebut Bang dari sisiku. Tapi bahkan seorang perempuan sederhana berhak merasa terluka. Walau demikian, kukayuh sebisaku bahagia untuk mengembalikan senyum pada kami. Hari-hari mengalir. Bang mendorongku untuk belajar lagi.
“Biar Tya punya kesibukan. Kenapa tidak kuliah lagi?” usulnya.
Bayangan cantik yang tersenyum renyah dalam pelukan Bang menyedot ingatanku. Perempuan cantik yang terlihat elegan dan tak terjangkau.
Bayangan itu membangkitkan rasa cemburu dan se- mangat kompetisiku. Maka kuanggukkan kepala menye- tujui usulnya untuk melanjutkan kuliah. Bahasa Inggris menjadi pilihanku.
Untuk membantuku menangani anak-anak di rumah, Bang memintaku mempekerjakan seorang baby sitter. Aulia sudah besar, dan bisa mengurus dirinya sendiri, tapi Aditya yang berusia empat tahun masih membutuhkan tangan lain. Aku setuju. Bang sendiri yang mengurus semuanya karena aku sibuk menyiapkan berbagai kelengkapan pen- daftaran sebagai mahasiswa baru.
Syukurlah, aktivitas kuliah mengembalikan rasa percaya diriku. Kembali belajar, bergaul dengan teman- teman yang berusia jauh lebih muda membawa kesegaran. Ah, terkadang aku lupa usia yang tak lagi remaja.
Kebahagiaan seolah kembali dalam genggaman. Bang tetap pengertian dan tidak pernah marah, bahkan meski tugas-tugas kuliah membuatku terkadang pulang ter- lambat. Aulia semakin besar, dan Aditya kian lucu dan menggemaskan. Baby sitter yang baru telah mengurus anak kedua kami itu dengan sangat terampil. Aku sungguh berterima kasih padanya.
Perlahan pula perasaan cintaku yang sempat menguap kepada Bang, kembali. Dari situ aku tahu, sebetulnya pe- rasaan itu tak pernah benar-benar hilang.
“Aulia, Adit… lihat nih ibu kalian pintar, kan?” Pertanyaan Bang yang dilemparkan pada kedua buah hati kami membuat perasaanku bungah. Indeks prestasiku memang cukup membanggakan. Diam-diam aku ber- terima kasih pada sosok cantik yang tampak pintar, namun tak pernah kukenal namanya. Sosok yang membuat suami- ku beralih, namun juga menyadarkanku untuk kembali memiliki cita-cita.
Aku ingin cerdas, ingin pintar. Ingin bisa menjawab pertanyaan apa saja yang Bang lemparkan. Aku ingin bisa meladeni kebutuhan intelektualitasnya sehari-hari. Ke- inginan itu sungguh menjadi bahan bakar dalam menjalani kesibukan kuliah. Juga dalam merehab dandananku yang dulu cenderung monoton dan tua.
“Duh, ibu makin muda aja dandanannya ya, Aulia?” Begitu komentar Bang kerapkali, yang disambut acungan jempol si sulung.
Namun luka yang berusaha kujahit rapat-rapat, pecah lagi malam itu. Membuat bumi tempat berpijak bergoyang, napas tersengal, dan kepalaku berkunang-kunang. Masih dengan map penuh dalam tas, aku berlari-lari kecil me- nembus hujan lebat, memasuki perumahan tempat kami tinggal.
“Jadilah istriku!”
Suara itu terdengar seperti nyanyian masa lalu, namun begitu jelas meski hujan tak sedikitpun menyisakan ruang buat kesenyapan.
Di depan pintu, aku terpaku.
Kau berada tidak jauh dari hadapanku.
Seperti dulu, dengan penuh cinta menatap, bahkan kali ini dalam jarak lebih dekat dari yang bisa kuingat. Pada jarak itu pasti aku bisa mendengar gemuruh hatimu, bahkan mencium aroma napasmu.
“Jadilah istriku!” katamu lagi.
Dan perempuan di dalam rumah, yang kupercaya mengurus Adit ketika hari-hari kuliah menjeratku, meng- angguk perlahan. Malu-malu. Begitu nyata dalam pan- dangan, meski kabut kemudian menghalangi peng- lihatanku ketika tiba-tiba saja sesuatu pecah di mataku.
Ah, Berapa banyak perempuan yang ada dalam hidupmu, Bang? Berapa yang kau butuhkan? Dulu sekali, kukira cuma aku.