Halaman
167
Tanggal Terbit
2014
ISBN
9786020308319
Penerbit
Gramedia
Begitu senja. Jalan setapak di batas Batu Licin yang sejak
tadi kususuri semakin gelap. Pepohonan dan daun-daun melambai berharap mentari sudi mengintip sebentar saja lagi, mengiringi langkahku yang entah ke mana ini.
Kupercepat langkah. Setengah berlari kubawa gejolak tak menentu, buncahan duka, air mata yang membuat sungai ke- pedihan semakin panjang dalam diri. Perang! Perang! Perang yang membara sejak aku belum dilahirkan, hingga kematian kedua orangtua dan sanak saudaraku. Perang yang tiada ber- ujung!
Ya, Belanda memporak-porandakan semua. Abak-ku hanya tukang perahu yang tewas kehabisan darah, saat Van Hengst dengan penuh dendam memotong-motong lalu mengirimkan kaki, tangan dan kedua mata Abak yang dicungkilnya keji kepada Pangeran Hidayat, untuk menakut-nakuti pemimpin teguh itu agar tak lagi mengajak rakyat Banjar berjuang.
Umak, wanita yang melahirkanku pun cuma wanita biasa, yang kutemukan tewas setelah dianiaya dan diperkosa belas- an penjajah Belanda di beranda rumah kami bertahun lalu. Sementara abangku Kusin dan Ali tewas saat bersama Kyai Langlang menyerbu benteng Belanda di Tabanio.
Dan dalam usia tujuh belas tahun ini aku sendiri. Berjuang untuk tetap hidup dalam atmosfer nestapa kebiadaban penjajah Belanda.
“He…he…he…he….”
Gema tawa liar yang tiba-tiba terdengar sungguh menyen- takkan lamunan dan mengejutkanku! Lalu entah dari mana da- tangnya,. kini tiga sosok lelaki menghadang jalan. Dua di antara mereka menyandang tombak!
“Gadis muda…, he…he…he…, mau ke mana?” tanya mereka hampir serentak. Lantas dengan begitu saja yang berkumis te- bal menjawil pipiku.
Aku menunduk gemetar. Ya Allah, tolong aku. Tiga orang ini sangat menakutkan. Yang seorang gondrong, seorang ku- misan, sedang yang lain bercodet di wajahnya. Meski bukan Belanda…, tapi perasaanku mengatakan mereka jahat. Bukan orang baik-baik apalagi pejuang!
“Kami anak buah Wan Syarif Hamid. Mari ikut kami. Kumpini takkan mengganggumu…he…he….”
Aku mencibir. “Syarif Hamid… si tolol. Dan kalian anak buahnya yang… dungu. Kalian muslim… atau Belanda?” gu- mamku pelan.
“Diam ikam!” teriak yang berkumis tebal. “Ayo kita bopong dia!!”
Aku meronta-ronta. Selendang penutup rambutku jatuh ke tanah! Sambil terkekeh-kekeh mereka berusaha membawaku secara paksa!
Aku menjerit-jerit. Mencoba mencakar, menjambak, melu- dahi mereka! Ya Allah… aku bingung dan begitu lemah. Tak mampu mematahkan mereka. Andai aku bisa bela diri… wah, mana mungkin?
“Turunkan dia!”
Sebuah suara berat menghentikan aktivitas para jahanam itu. Aku terpana. Seorang lelaki kurus tinggi yang sangat bernyali mencoba merintangi! Sungguh berani. Kutahan na- pasku. Mungkinkah dia bisa melawan para biadab ini?
“Siapa, kau?” gusar Si Gondrong yang membopongku. Se- ketika dibuangnya aku ke tanah. Duh, serasa tulang-tulangku mau patah. Sakit sekali.
“Saudaraku, lepaskan perempuan yang tak berdaya itu. Biarkan dia pergi.”
“Tak ada urusan. Menyingkir atau kutusuk ikam dengan tombak ini!” seru yang berkumis tebal.
Aku memandang ngeri sambil perlahan memungut selen- dangku. Pemuda kurus tinggi itu sendirian dan bergeming di tempatnya. Sambil membetulkan ikat kepalanya dia melam- baikan tangannya padaku.
“Sini, ai!”
Aku baru saja akan berlari, saat dua di antara anak buah Syarif Hamid mencengkeram tanganku kuat.
Aku meronta-ronta. Kuberanikan diri menggigit tangan mereka sampai berdarah. Mereka melolong kesakitan! Hup, Aku bebas! Dengan lutut yang masih agak gemetar aku ber- lari ke arah pemuda tersebut.
“Serbuuuuuuuu!” teriak si Kumis. Serempak mereka me- nyerang pemuda yang bermaksud menolongku itu.
Pemuda kurus tinggi tersebut gigih melawan. Ia pintar bela diri! Kulihat gerakannya sangat lincah. Bahkan ia belum juga mengeluarkan keris di pinggangnya menghadapi orang- orang jahat bertombak itu!
Apa yang harus kulakukan sekarang? Menunggunya? Ka- lau dia kalah dan mati? Hiiiiiii….
“Semoga Kakak menaaaaang!” teriakku pada pemuda yang berani itu. Dan… wussssssss, aku berlari secepatnya meninggal- kan tempat tersebut.
***
Pindah dari satu daerah ke daerah lain, mengembara tak ten- tu arah, sebenarnya bukan hal yang biasa dilakukan oleh ga- dis bingung dan penakut seperti aku ini. Tapi kupikir, harus bagaimana lagi? Aku bisa mendelik atau pingsan ketakutan bila berada di daerah yang ditimpa kerusuhan dan peperang- an. Ya, karena aku penakut. Karena tak berani menghadapi kenyataan peperangan inilah maka aku selalu berlari.
Aku ingin dapat istirah sesaat dengan tenang walau harus tidur di tanah, emper rumah orang, dalam bilik pengap, di mana saja. Tidur nyenyak di waktu malam berteman suara jangkrik. Bukan suara bedil, mesiu atau jerit pilu yang ber- kepanjangan. Bukan ditemani mimpi-mimpi meresahkan… bayangan wajah Abak, Umak, kumpini dan simbahan darah…. Sungguh, itu sangat mengerikan.
Seperti kini, 27 September 1859, aku tiba di kaki Gunung Lawak. Menurut kabar daerah ini sudah dikuasai oleh para pejuang kemerdekaan.
“Pangeran Amirullah, Demang Lehman, Antaludin dan Haji Buyasin ada di sini. Rakyat merasa lebih tenang. Wila- yah juga lebih aman…,” ujar seorang bapak tua penjual sayur yang kutemui di jalan.
Kutarik napas panjang. Aku salut atas keberanian para pejuang itu. Apalagi pada Pangeran Hidayat, Haji Buyasin dan… Demang Lehman! Tapi… terus terang, aku lebih suka jadi pelarian dari pada ikut membantu perjuangan.
“Bergabung saja dengan laskar wanita pimpinan istri Haji Buyasin. Nanti kau diajar mengobati orang luka, memasak, juga bersilat, Ading Gahara…,” kata Kak Kusin suatu ketika. “Kenapa sih Ading penakut sekali…!” bentak Kak Ali. “Ading kada’ mau mati muda….” jawabku pelan. “Huuuuuuuuuu! Mati bisa di mana saja, Ading. Di tempat pun bisa!” ledek Kak Ali sambil mengusap kepalaku. Kutahan titik-titik air mata. Aku rindu mereka…, sungguh rindu!
tidur
“Kita harus melawan penjajah, ini tanah hak kita! Kita ha- rus merdeka! Jihad fisabilillah terhadap Belanda… kaum kuffar itu!” suara Kak Kusin lagi.
Aku menghapus air mata dan membetulkan letak selen- dangku. Sebelum hari beranjak siang, aku harus mendapat pekerjaan. Mencuci baju, piring, membantu di warung…, apa saja…, agar aku mendapat uang dan bisa numpang bermalam. Belum jauh berjalan, di sekitar kaki Gunung Lawak, ku- temukan sebuah warung kecil yang sepi tanpa pengunjung.
“Aku tak memerlukan pembantu, tapi kau boleh tinggal di sini,” ujar seorang janda tua pemilik warung tersebut priha- tin. “Lagi pula kita senasib. Aku pun sebatangkara. Panggil saja aku Acil Dem…,” sambungnya lagi.
Alhamdulillah, aku sangat bersyukur!
***
Beberapa hari kemudian, suara mortir dan senapan tak ber- henti menyalak di sekitar kami….
“Perang! Belanda sampai…, ayo ngungsi!”
“Van De Koch… dan anak buahnya… menyerbu benteng Gunung Lawak…!”
“Demang Lehman terdesak!”
Itulah seruan-seruan beberapa orang di jalanan dengan wajah penuh kecemasan.
Kaum wanita dan anak-anak pun panik! Para lelaki meng- angkat tombak, keris serta bedil.
“Mari bantu pasukan Demang Lehman!”
Aku dan Acil pias!
“Acil, ayo kita lari!”
“Kau saja yang pergi, Gahara. Biar Acil mati di tanah sendiri!”
“Jangan, Acil!” aku kebingungan. Suara bedil, mesiu dan kendaraan perang yang terasa menderu-deru di telingaku se- makin dekat saja! Semakin membuatku gugup. Kutarik paksa Acil Dem meninggalkan rumah. Aku takut sekali dan ingin lari selekas mungkin. Tapi…, nuraniku berkata untuk melin- dungi Acil Dem! Acil malah meronta-ronta….
Tiba-tiba kulihat darah muncrat dari punggung perem- puan tua itu. Mataku terbelalak. Kepalaku berkunang-kunang. Aku lemas seketika! Belanda-belanda itu telah menguasai daerah dan berada tak jauh di belakang kami!
“Lari…, Ga…ha…ra…,” suara Acil satu-satu.
Sosok Umak yang bersimbah darah tiba-tiba muncul di hadapanku. Matilah aku kini! Wahai…, gadis muda mati di- bantai kumpini!
***
Cahaya menyilaukan membuat kedua mataku mengerjap picing. Di manakah aku kini? Surga? Tapi…apakah seorang penakut dapat begitu mudah masuk surga?
“Kau sudah sadar….”
Kukerjapkan lagi mata ini. Pandanganku masih terasa kabur. Allah, aku masih hidup! tapi… bagaimana mungkin? Dan… Acil Dem?
Seorang lelaki gemuk berdiri tak jauh di hadapanku. Di dekatnya seorang lelaki kurus tinggi berpakaian lusuh, lengkap dengan ikat kepala membelakangiku. Sekitarku penuh pepo- honan…, daun-daun kering berserakan, suara-suara binatang di kejauhan…. Hutan! Aku ada di hutan!
“Kau tak luka, hanya pingsan. Bergegaslah, kita akan berja- lan ke pemukiman penduduk beberapa kilometer dari sini.”
Aku tertegun saat sekilas menatap pemuda itu. Aku pernah bertemu dengannya tapi…tapi di mana? Oh tentu saja, pemu- da kurus dengan ikat kepala itu yang menolongku saat di Batu Licin dulu! Hebat, dia selamat! Dan… kini dia pula yang meno- longku.
Tak lama kami telah berjalan menyusuri hutan. Sesekali kutangkap pembicaraan dua pemuda sederhana ini. Tampak- nya mereka sisa-sisa pejuang dari benteng pertahanan Gunung Lawak. Entahlah, mungkin anak buah Demang Lehman?
Mereka tak lagi mengajakku bercakap-cakap. Hingga di ujung hutan, tak jauh dari pemukiman penduduk, lelaki de- ngan ikat kepala itu berkata, “Kita berpisah di sini. Kau hanya harus lurus berjalan. Ceritakan tentang pertempuran di Gu- nung Lawak. Penduduk akan simpati dan menolongmu.”
“Apa? Begitu saja, ai?” tanyaku heran sambil membetul- kan selendang lusuhku yang compang-camping. “Bagaimana kalau ada Belanda yang menghadang tiba-tiba?”
“Insya’ Allah aman. Dan bila orang-orang kafir itu datang berjihadlah. Tuangkan darahmu untuk menegakkan agama Allah….”
Aku bergidik. “Aku ikut saja.”
“Tidak bisa! Kami akan bergerilya dan mengatur siasat baru,” ujar pemuda itu lugas.
Tega! Rutukku. “Baik. Terima kasih sudah menolong,” kataku pada akhirnya. “Sebelum berpisah, siapakah kakak berdua ini kiranya?”
“Aku Idis. Dan ini temanku Abdullah,” ujar si ikat kepala lagi. “Assalaamu’ alaikuum!”
Lalu tanpa bisa kucegah, mereka berlari dan menghilang ke dalam hutan!
***
Beberapa waktu kemudian, di tengah pengembaraanku, ku- dengar Demang Lehman dan pasukannya berhasil mengusir Belanda dari Gunung Lawak. Kata beberapa orang, Belanda tak tahan digerogoti dan diteror terus secara gerilya oleh para pejuang tersebut.
Menurut banyak orang lagi, Di Munggu Tajur, Demang Lehman berhasil merampas senjata, berpuluh pucuk bedil serta mesiu Belanda. Kemudian orang gagah itu meneruskan pertempuran ke Taal dan membuat Belanda kocar-kacir. Ke Amawang, Alai, Kusan, Amandit, Banua Lima-Tabalong….
“Dia orang hebat, Gahara. Aku pernah bertemu sekali dengannya. Dia sangat pemberani!” seruan Kak Kusin ter- ngiang kembali di telingaku.
“Dia juga sangat rendah hati!” sambung Kak Ali. “Pange- ran Hidayat percaya pada beliau makanya Demang Lehman diangkat menjadi Lalawangan di Riam Kanan walau Sultan Tamjidullah yang berpihak pada kumpini itu benci! Pangeran Hidayat memberinya tombak Kalibelah dan keris Singkir.”
Demang Lehman, aku menggumam. Pembicaraan yang tiada putus-putusnya. Dan saat aku sampai di Barabai, orang- orang masih juga menyebut namanya!
“Kebakaran! Kebakaraaaaan!”
Allah, ada apa?
“Kebakaran! Barabai hangus! Api dari rumah Demang Lehman! De Koch membakarnya!” seru seseorang.
Aku terhenyak. Tapi… tidak, tak ada Belanda. Yang ada hanya api…, api yang menjalar ke mana-mana… terus men- jalar!
Para wanita dan anak-anak menjerit dan menangis keras, riuh rendah! Hiruk-pikuk! Mereka jatuh, berlari, bergulingan, berusaha menyelamatkan harta dan keluarganya! Dan saling kehilangan! Para lelaki mencoba menyiram rumah-rumah dengan air. Sia-sia!
Sesaat aku terpana. Ternganga. Naluri kemanusiaanku menuntunku untuk membantu menyelamatkan kaum wanita, para bocah dan orang tua. Tubuhku bergetar. Peluh mem- basahi kulit ini. Aku berlari-larian mencoba menyelamatkan yang bisa kuselamatkan. Anak-anak kecil itu…, Allah… aku sempoyongan! Kasihan mereka!
“Toloooong, bayikuuu! Bayiikuu! Dia terbakar!” seorang umak muda berteriak-teriak di depan rumahnya yang penuh kobaran api.
Entah kekuatan dari mana, aku menyeruak masuk. Bocah baru berusia beberapa bulan itu menangis keras kepanasan! Selimutnya telah terbakar. Kuraih…, hup! Tangis anak itu makin keras. Tapi… Ya Allah…, aku terkurung apii!!
“Toloong! Tolong anak iniii!” teriakku.
Dalam nanar kulihat orang-orang masih berlarian tak peduli. Umak anak itu meraung-raung sambil menunjuk- nunjuk kami….
Aku sudah pasrah…, saat samar-samar kulihat sosok kurus tinggi menyeruak api! Tangan kanannya menarikku. Tangan kirinya menyelamatkan bayi tersebut!
Alhamdulillah Allah melindungi kami. Hanya kaki dan tanganku melepuh sedikit.
Dan lelaki itu…, hah? Kak Idis?
“Kau sudah lebih berani, Ading! Berjuanglah bersama Allah…,” katanya datar sebelum berlalu.
Aku tercenung. Berani? Ya, pada api aku memang agak berani. Tapi… pada Belanda yang memperkosa dan membu- nuh Umak, yang mencungkil mata Abak?
Orang-orang di sekitarku masih hiruk-pikuk. Bertangis- tangisan. Kutatap sosok kurus yang kian jauh itu. Entah siapa dia…, dan Ya Allah, mana bungkusanku? Heran, dalam ke- adaan seperti ini ada saja orang yang mencari kesempatan!
Aku sudah tak memikirkan sosok kurus itu lagi. Hanya mencari bungkusanku yang hilang ke sana kemari.
***
Martapura, 26 Februari 1864, kesunyian kota berubah ramai saat para utusan De Koch tiba.
“Rakyat semua, dengarlah! Besok kamu semua datang beramai-ramai. Setelah Pangeran Hidayat ditangkap untuk dibuang ke Cianjur, Gubernemen kini telah menangkap eks- trimis Demang Lehman. Eksekusi gantung sampai mati esok pagi!”
Aku baru saja tiba di kota ini. Orang-orang sibuk mem- bicarakan tertangkapnya Demang Lehman. Kasihan, kasihan pejuang itu. Dan bagaimana nasib rakyat kalau ia betul ter- tangkap? Bukankah ia pengobar semangat rakyat?
“Ya, Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati ber- sembunyi di dalam Gua Gunung Pangkal. Mereka cuma makan daun-daunan. Lalu oleh orang bernama Pemberani diajak menginap di rumahnya. ”
“Karena tergiur imbalan golden, Pemberani bekerja sama dengan Syarif Hamid dan anak buahnya yang sudah menyu- suri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman.”
“Demang Lehman ditangkap waktu salat subuh. Ia sempat sendirian melawan puluhan orang yang mengepungnya. Atas keberhasilan ini Syarif Hamid akan diangkat jadi raja di Batu Licin….”
Cerita-cerita terus beredar. Dan entah mengapa aku ter- gugah. Seperti apakah Demang Lehman itu? Lelaki pembe- rani yang dikagumi rakyat Banjar? Setua apa dia? Rasa ingin tahu bermain terus di hatiku.
27 Februari 1864. Kulihat wajah-wajah duka di Marta- pura. Dan saat iring-iringan Belanda tiba, entah mengapa kakiku tetap kukuh menginjak bumi. Tak lari seperti biasa. Serasa magnet yang kuat menahanku untuk tetap di Mar- tapura. Tiba-tiba kebencianku bergumpal-gumpal pada Be- landa kafir dan para pengkhianat tolol itu! Tiba-tiba sesuatu yang lain menjalar di hatiku. Aku merasa begitu dekat dengan Demang Lehman…, orang yang akan digantung Belanda di hadapan orang banyak saat ini….
“Bawa dia naik!” teriak beberapa Belanda.
Rakyat bergumam-gumam tak jelas. Wajah-wajah di sam- pingku keruh menahan air mata.
Seorang lelaki kurus tinggi dengan ikat kepala naik ke atas panggung hukuman. Ya Tuhan! Aku menahan napas! Nyaris tak percaya…, Kak Idis!? Benarkah itu Kak Idis?
Lelaki muda itu tampak tenang menghadapi tali yang menjulur. Wajahnya kokoh ke depan. Seolah ingin berkata bahwa kematiannya adalah awal, bukan akhir perjuangan.
“Kak Idis…,” lirihku. Dan tanpa dapat kutahan air mataku mengucur begitu saja. Makin lama semakin deras.
Seorang kompeni maju. “Nama Demang Lehman. Nama kecil Idis. Lahir tahun 1832 di Barabai. Bersalah merugikan pemerintah Belanda secara moril materiil dan menghilangkan nyawa banyak orang. Dihukum gantung dalam usia 32 tahun, sebagai contoh pahit bagi para pemberontak.”
“Dangar, dangar baritaan! Banua Banjar lamun kabada lakas dipalas lawan banyu mata darah akan diinjak kumpini Belanda!” “Apalagi yang mau dikatakan!” Belanda mendorong tubuh Kak Idis hingga limbung.
“Mari berjihad, saudaraku! Laa ilaabailallah!!!” Kak Idis berteriak keras.
Wajah orang-orang kian haru. Biru. Beberapa di antara- nya meneteskan air mata. Para wanita seolah tak kuat me- nanggung rasa duka, dan berlalu dari situ. Sementara deras air mataku berubah jadi isakan.
“Siap?”
Bagiku Kak Idis tampak makin gagah saat lehernya dika- lungi tali tambang yang kokoh itu. Ia begitu tenang. Pun saat tanpa sengaja kami bertatapan.
Jantungku berpacu keras. Belanda Biadab!
“Allaaahu Akbarrrr! Demang Lehman…! Aku akan meng- ikutimuuuu! Aku akan berjihaaaad!” teriakku tiba-tiba. “Aku Gaharaaaa!!!”
Sesaat orang-orang sibuk mencari arah suaraku, juga Kompeni. Demang Lehman tenang dan terus berzikir. Se- ulas senyum ketabahan menghiasi wajah teduhnya. Belanda tak membiarkan. Kasar mereka menarik Demang Lehman! Kasar mereka memasukkan lingkar tali tambang ke lehernya! Dan penuh kebrutalan… mereka… membuat tubuh kurusnya terayun-ayun setelah mengejang tertarik tali!
Allah, dia telah pergi! Pemuda gagah itu pergi diiringi tunduk khidmat dan doa rakyat Banjar. Di antara derai tawa Kompeni Belanda!
Selendang compang-campingku yang lusuh berdebu, berkibar ditiup angin Martapura. Rahangku keras menatap langit kelabu. Sayup-sayup kudengar senandung La ilaahai- lallah memenuhi bumi. Menyebarkan wangi….
Aku akan mengenangmu, Demang Lehman mujahid negeri! Akan kuteruskan perjuangan! Dan air mata biar terpatri
jadi janji!
***
Depok, 1996
Keterangan:
Ikam : kamu
Ading : adik
Kada : tidak
Acil : tante
Lalawangan : kepala distik,pamong praja
dangar baritaan : dengar pesanku
lamun kada lakas dipalas : kalau tidak lekas disiram
banyu : air