Halaman
191
Tanggal Terbit
2009
ISBN
9789791915441
Penerbit
ANPH
Suara ban mobil mendecit-decit.
Orang-orang memekik. Berpasang mata seakan ditarik pada satu titik. Sesosok tubuh terkapar di trotoar, berusaha mengejang menahan sakit. Sebelah tangannya keras tetap terkepal. Genangan air hujan yang menadah kepalanya berangsur merah saat tangan lelaki itu akhirnya rebah.
Bumi berhenti bernapas.
Hanya sesaat sebelum kembali riuh. Teriakan. Jeritan klakson. Titik-titik air yang meluncur serentak seperti derap sepatu tentara yang melangkah dengan kemarahan. Satu gulungan koran pelan-pelan diseret angin.
Zein mengenali kerinduan itu.
Kerinduan yang mengental di mata Emak setiap musim haji tiba. Ketika dari balik jendela, Emak merayapi bangunan megah yang terletak persis di depan rumah kecil mereka. Tempat tinggal Juragan Haji. “Tahun ini dia berangkat Zein.
lagi, Mak?” tanya Emak mengangguk, bahkan tanpa mengalihkan pan- dangan dari bangunan bertingkat yang dilindungi pagar besi setinggi dua meter. “Sama istrinya, Zein. Mertuanya juga ikut.”
Zein tidak menanggapi. Bukan berita baru karena nyaris setiap tahun tetangga mereka itu berhaji. Lebih sering sendiri atau berdua istri. Kadang mengajak anak- anaknya. Tidak cuma haji, konon Juragan Haji pernah sampai membawa 22 orang sanak keluarganya dalam paket umroh bersama selebritis terkenal.
“Uangnya kayak kagak abis-abis ya, Zein?” lirih suara Emak.
Zein tidak menjawab. Dalam hati membenarkan perkataan Emak.
Kalau melihat kenyataan betapa mudahnya Juragan Haji berangkat setiap tahun, Zein sulit memercayai berita-berita yang berseliweran; biaya ONH yang terus membumbung,
hingga menyulitkan orang-orang kecil untuk berangkat, ratusan jamaah yang batal karena masalah quota, atau penipuan oleh biro haji tidak bertanggung jawab itu.
Tetangganya yang kaya seakan tidak tersentuh masalah
Zein melihat Emak lambat-lambat berjalan menjauhi jendela, tempat perempuan itu sehari-hari bermimpi.
Kalau tahu dari dulu, mungkin dia tidak perlu menunda. Layanan haji super mewah yang ramai dibicarakan orang.
“Semua jemaah sudah dijemput di bandara Jeddah dengan limosin. Bapak tidak akan ketinggalan berita atau urusan kantor. Termasuk tenda di Mina juga diubah me- nyerupai hotel berbintang lima. Di ruangan nanti tersedia komputer dan internet. Makanan dan minuman mewah. Tersedia faks dan telepon. Juga, televisi yang bisa me- monitor kondisi jamaat serta pelajaran manasik haji,” jelas Mitha, sekretaris barunya yang selalu dibalut rok di atas lutut itu, panjang lebar.
Senyum cerah terlukis di wajah lelaki berusia lima puluhan itu.
“Biaya?”
“Variatif, tapi untuk Bapak saya sarankan yang terbaik. Sekitar dua puluh ribu dolar.”
No problem.
Selama ini bukan biaya atau ketakutan absurd yang menghalanginya naik haji. Seperti kebanyakan laki-laki, dia bukan orang suci. Tapi logikanya mengatakan segala ke- sulitan bisa dihindarkan jika bisa diantisipasi.
Waktu pemilihan tinggal enam bulan. Ini saat tepat untuk mendongkrak suara. Lebih baik lagi jika istrinya yang mualaf itu ikut.
“Pastikan saya berangkat tahun ini.”
Mitha mengangguk. Aroma parfum yang sensual ter- cium keras saat gadis bertubuh sintal itu menyodorkan se- buah formulir untuk diisi.
Hidupnya seakan berjalan di tempat.
Matahari jam dua belas sudah menyenter terang. Se- bentar lagi pengunjung pasar kaget tempat Zein mangkal, akan buyar.
Sudah lima jam dan dia belum juga mendapatkan pembeli. Meski lelaki itu sudah membanting harga, bahkan menawarkan fasilitas khusus,
“Kredit juga bisa, Bu. Tinggal kasih DP, sisanya bisa dicicil enam bulan.”
Tetapi rombongan ibu-ibu berpakaian training yang melintas, dengan topi lebar menutupi separuh wajah,
hanya memandang sambil lalu lukisan kaligrafi yang di- pajang di sisi kiri jalan.
Pasangan suami istri yang sempat mampir, juga tidak menutup dengan transaksi. Keduanya angkat kaki setelah puas menanyakan, bahkan secara mencolok mencatat satu persatu harga kaligrafi yang terpajang.
Tenggorokan Zein kering. Perutnya lapar. Mungkin karena itu tangannya terasa lemas saat memberesi dagangan. Terbayang wajah Emak. Ingat kerinduan satu-satunya perempuan itu.
Empat puluh tahun sudah usia… kapan aku dapat me- lunasi mimpi Emak untuk naik haji?
Tapi Tuhan tahu dia bukan tidak berusaha. Bimbingan belajar yang dikelolanya bersama seorang teman terpaksa bangkrut karena kalah bersaing.
Usahanya berjualan sepatu di pasar pun tidak ber- kembang. Malah meninggalkan hutang yang harus dicicil- nya setiap bulan. Sementara sisa sepatu terpaksa dia jual dengan harga sangat murah kepada tetangga.
Usaha warnet? Menggiurkan tapi butuh modal yang banyak. Alih-alih jadi pengusaha, dia malah jadi penjaga warnet yang buka 24 jam. Belakangan Zein berhenti be- kerja karena jam kerja yang panjang sampai pagi, mem- buat penyakit paru-parunya kambuh, dan meninggalkan deret resep yang tidak bisa ditebusnya.
Cilaka. Sungguh cilaka dua belas!
Perempuan itu melepas kacamata hitam yang dipakai- nya. Air mukanya tampak tenang, padahal gelombang dahsyat baru saja membuatnya luluh lantak.
Sebaliknya, laki-laki setengah baya yang duduk ber- hadapan dengannya, tampak gugup dan salah tingkah. Butiran keringat dingin memenuhi dahi dan sekitar wajah. Beberapa kali terdengar lelaki itu membersihkan teng- gorokannya.
“Padahal sebentar lagi bulan haji, Ma…”
Ya, bahkan dia yang mualaf tahu itu.
“Tolong Papa…”
Kemarin Emak bertanya padanya,
“Kalau jalan kaki, berapa jauh Zein?”
Jalan kaki dari sini ke Mekkah?
Sri, anak Juragan Haji pernah cerita. Katanya jamaah dari Afghan atau Pakistan banyak yang tidur di emperan kamar mandi atau di mana saja. Toh Rasul pun tidak tinggal di hotel bintang lima dulu.
Jika tempat tinggal tidak masalah, mau rasanya menggendong Emak dan membawanya berhaji. Tapi… “Jaman sekarang kagak mungkin, Mak.”
Emak menundukkan kepala, merayapi daster batik kusam yang dipakainya. Tidak lama, sebab satu pikiran mencerahkan wajah perempuan itu lagi,
“Masjidnya bagus di sono, ya Zein? Lampunya banyak,” Emak terkekeh,
“Eh, berape sekarang ongkosnya, Zein?” “ONH biasa atau plus, Mak?”
Emak tertawa. Beberapa giginya yang ompong terlihat, “Kagak usah plus-plusan. Mak kagak ngerti.”
“Kalo kagak salah tiga ribu lima ratusan.”
“Murah itu!”
Kali ini Zein tertawa,
“Pakai dolar itu, Mak. Kalau dirupiahin mah tiga puluh lima jutaan.”
Suara riang Emak kontan meredup, “Dulu sih kita punya tanah. Tapi keburu dijual waktu Bapak sakit.”
Beberapa saat Emak hanya menghela napas panjang. Suaranya kemudian terdengar seperti bisikan, “Mak pengin naik haji, Zein… pengin banget.” Terlontar juga.
Hati Zein berdesir perih.
Hingga usia Emak setua sekarang, perempuan itu belum pernah minta apa-apa padanya. Tidak radio atau tivi, atau kasur yang lebih baik menggantikan kasur tipis yang dipakai Emak. Tidak juga untuk sehelai pakaian baru.
Dia telah gagal, pikirnya kesal. Sebagai anak satu- satunya aku telah gagal membahagiakan Mak.
Lamunan lelaki itu putus oleh suara salam di depan pintu. Sri, anak kedua Juragan Haji mendekat, “Besok bisa bantu?”
Zein mengangguk tanpa perlu bertanya lebih jauh. Persiapan ratiban, seperti yang sudah-sudah menjelang musim haji. Hampir setiap tahun dia membantu gadis hitam manis itu belanja. Sehabis acara, biasanya Juragan Haji akan memberikan bingkisan bagi yang hadir berupa sirup, biskuit, minyak goreng beberapa liter, gula dan lain- lain, sambil membisiki,
“Doain saya berangkat lagi taon depan, ye?!”
Dan setiap kali melewati pintu rumah Juragan Haji. Pandangan Emak akan terpaku pada lukisan Ka’bah ber- ukuran besar yang dipajang di ruang tamu. Dan Zein bisa melihat embun di mata perempuan tua itu.
Emak sudah terlalu lama menunggu.
Zein sadar, dia tidak punya banyak waktu. Tapi apalagi yang belum dilakukannya untuk mencari uang?
Barangkali hanya merampok dan membunuh.
Zein gamang. Tapi pikiran itu memaksanya bangun lebih pagi dan berdiri di samping Emak, mengamati rumah Juragan.
“Air zam-zam itu pegimana rasanya ya, Zein?”
Zein mengangkat bahu. Matanya yang merah karena semalaman tidak bisa tidur, asyik merayapi setiap jengkal bangunan mewah itu.
“Sebetulnya… Mak pengin minta sama Juragan, tapi malu. Lagian keluarganya sendiri pan udah banyak banget.” Zein terdiam. Teriris.
Pagar tinggi itu, bukan tidak bisa dipanjat. “Kapan ya, Zein…” desah Mak lagi.
Allah, beri aku petunjuk, bisik Zein sambil menye- dekapkan wajah dalam-dalam. Ketika dia mengangkat muka, rumah mewah itu yang pertama tertangkap mata.
Pukul 02.00 pagi.
Sebilah parang dan golok. Seutas tali. Beberapa kantung plastik. Terakhir sapu tangan yang dilipat diagonal hingga berbentuk segitiga, sebagai penutup wajah.
Kalau keberadaannya di penjara bisa membuat Mak menjadi tamu Allah, dia siap.
Sore tadi waktu mengantarkan barang belanjaan Sri, Zein manfaatkan untuk melihat lebih dekat kediaman Juragan Haji. Rumah megah satu-satunya di pinggiran Jakarta yang mencolok namun belum pernah sekalipun kemalingan. Tekadnya sudah bulat.
Zein mencermati lagi persiapannya sebelum memasuk- kan satu demi satu barang di meja ke dalam tas ranselnya yang lusuh.
Hm, mungkin dia perlu meninggalkan surat untuk Mak. Tepat ketika lelaki itu merogoh saku celana mencari sehelai kertas, tangannya menyentuh sesuatu. Lembaran- lembaran kecil yang diberikan Sri sebelum mereka me- ninggalkan supermarket. Zein tertegun.
Damn it!
Perempuan cantik itu melepas gagang kacamata hitam dan menyangkutkannya di kepala. Sejam setelah me- ninggalkan kafe, perasaannya masih menggelegak
“Papa khilaf…”.
Seperti kekhilafan yang dilakukan lelaki itu pada karyawati lain? Untunglah tidak sulit mengajak mereka berdamai. Tapi Mitha berbeda. Dari awal dia sudah men- cium sesuatu yang berbeda pada gadis ramping itu. Terlalu sempurna dan cerdas untuk seorang sekretaris yang me- ngaku belum punya pengalaman.
Sekarang dia harus memikirkan proposal yang menarik agar Mitha membatalkan ancamannya untuk membuka aib ini ke media.
Kepalanya berdenyar-denyar.
Sedetik kemudian air matanya menitik seiring gerimis yang turun. Berkali-kali perempuan itu menghapus kaca mobil agar penglihatannya lebih jelas.
Satu sosok menyebrang jalan.
Tuhan, dia tidak melihat lampu yang menyala merah!
Sekuat tenaga perempuan itu menekan pedal rem hingga menimbulkan bunyi mendecit-decit yang keras. Benturan keras terdengar. Orang-orang berteriak dan menjerit.
Kacamata hitamnya terlepas dari kepala. Dalam ke- panikan, perempuan itu memundurkan Porché-nya, lalu melarikannya sekencang mungkin.
Dulu dia tidak pernah meletakkan nasib pada lembaran kertas.
Lelaki itu masih bisa merasakan tetesan hujan di wajah- nya, saat kilatan-kilatan memori berlesatan seperti lompatan bunga kembang api di kegelapan.
Kupon undian dari supermarket besar, yang diberikan Sri usai mereka berbelanja. Potongan-potongan kertas kecil yang hampir dilupakan Zein.
Sosok Emak yang berdiri berjam-jam menatap rumah Juragan Haji terus mengusik. Memberinya energi lebih
saat tengah malam itu Zein mengisi satu demi satu kolom dalam kertas undian: Nama, alamat, nomor KTP… sambil berdoa tak putus.
Harapan setitik yang tiba-tiba melenyapkan keinginan untuk menyatroni tempat tinggal Juragan Haji.
Kilatan memori melompat cepat menyusuri hari demi hari, hingga tiba waktu pengumuman yang dijanjikan. Mereka bilang nama-nama pemenang akan dimuat di surat kabar pagi hari ini. Dan Zein merasa dadanya me- ledak saat menemukan namanya tercantum di halaman delapan. Keriangan yang membuatnya melompat dan me- nari-nari sepanjang jalan.
Seumur hidup dia tidak pernah menangis. Dia bahkan tidak menangis ketika Bapak meninggal. Tapi beberapa waktu lalu Zein benar-benar menangis. Seperti tak percaya. Dia dan Emak merupakan satu dari lima pemenang undian berhadiah paket haji untuk dua orang.
Akhirnya dia bisa membawa Emak ke Mekkah. Berdoa di depan Ka’bah. Bershalawat di makam Nabi di Raudhah.
Di antara jeritan histeris dan suara keributan, lelaki yang rebah di jalan berusaha keras menggerakkan tangan- nya yang terasa kaku, mencari-cari gulungan koran yang beberapa saat lalu masih berada di genggaman. Dia harus menunjukkannya pada Emak.
Tapi angin telah merebut paksa lembaran koran yang belum lama terkepal di tangan Zein, setelah sebuah Porche hitam menabrak tubuhnya dengan keras.
Di langit, dalam bayangan yang mulai mengabur, Zein melihat Emak dalam pakaian ihram, mengelilingi Ka’bah. Wajah Emak yang bercahaya tersenyum menatapnya.