Halaman
167
Tanggal Terbit
2014
ISBN
9786020308319
Penerbit
Gramedia
Aku ingin menjadi istrimu, tulis gadis itu.
Kulipat kembali surat itu. Surat yang telah kusam karena telah terlalu sering kubaca. Bahkan aku masih hafal semua kalimat dalam kertas biru itu.
Aku percaya pada apa yang kulakukan dan tak peduli bila terkesan aku yang melamarmu. Lagi pula apa salahnya meminta pria berbudi menjadi suami? Maka, Agam, sudikah?
Aku melihatnya pertama kali di pinggir jalan raya, dikeru- muni beberapa puluh orang. Waktu itu ia sedang menyam- paikan orasi mengenai sikap pemerintah dan GAM terhadap wilayah ini. Ia berbicara sambil menangis mengenai penderi- taan ribuan janda dan kanak-kanak Aceh berpuluh tahun ter- akhir. Jilbab putihnya berkibaran seperti mengiringi gelora bicaranya. Gila, pikirku. Apa ia tak takut ditembak seseorang atau diculik?
Baru saja aku berpikir seperti itu, beberapa aparat datang, membubarkan massa dan menghardiknya.
Cut Vi.
Untuk kedua kalinya kami bertemu, lagi-lagi di pinggir jalan, tepatnya di depan sebuah supermarket. Waktu itu aku baru saja turun dari mobil dan bermaksud membeli makanan
kecil. Ia dan temannya sedang mengangkat-angkat kardus, sementara di sekitar mereka terlihat pula beberapa tas plastik berisi belanjaan.
Dan begitu memandangku yang belum dikenalnya, ringan sekali ia berkata, “Maaf, teman saya tidak berhasil mencari angkutan. Boleh kami diantar ke suatu tempat? Tidak jauh. Oh ya, kenalkan, saya Cut Vi dan ini teman saya Intan,” ujarnya beruntun.
What? Dalam hati aku tak habis pikir. Ini anak, tidak kenal kok berani-beraninya minta bantuan?
“Kami mau membawa ini ke inong bale,” tambahnya lagi sambil tersenyum. Teman di sampingnya yang juga berjilbab dengan rasa tak enak dan tampak malu, menunduk saja sam- bil sesekali menyikut gadis itu.
Apa yang bisa kukatakan? Kuhela napas panjang, meng- angguk dan mencoba tersenyum.
Hari itu kami berkenalan. Cut Vi masih kuliah, duduk di semester tujuh jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Unsyi- ah. Kesibukannya selain kuliah adalah sebagai relawan LSM. Kadang ia mengajar anak-anak korban DOM yang tersebar di beberapa panti asuhan. Juga mendampingi beberapa perempu- an yang mengalami trauma. Di sela waktunya, ia suka menulis. “Panggil saya Agam,” kataku. “Saya kelahiran Bireun, tapi besar di Jakarta.” Kukatakan juga aku baru saja lulus dari Fa- kultas Ekonomi UI dan berencana mengamalkan ilmu yang kudapat di Banda Aceh.
“Nah sudah saatnya bagi Agam untuk kembali dan mem- bangun tanah kita,” katanya semangat. “Jangan pergi terus.” Kami tersenyum bersama.
Setelah kejadian itu kami tak terlalu akrab juga. Namun kadang Cut Vi meneleponku. Bukan, bukan memintaku un- tuk membantu dirinya, melainkan memintaku untuk mem- bantu orang lain.
Lama kelamaan bukan lagi Cut Vi yang meneleponku. Tetapi entah aktivis LSM mana, entah anak panti asuhan mana, aku pun tak tahu. Tiba-tiba aku sudah menjadi “Cut Abang” bagi mereka semua. Dan dari mereka pula aku mulai tahu banyak hal mengenai Cut Vi.
“Dia anak tunggal.”
“Bapaknya guru, mati ditembak di depan rumahnya waktu mau pergi mengajar.”
“Iya, abangnya juga sudah mati!”
“Sekarang ibunya berjualan kue di pasar.”
“Cut Vi mencari tambahan uang dari menulis.”
“Di LSM itu Cut Vi tak digaji!”
Begitu kata beberapa orang yang mengenalnya.
Satu yang mengganjalku mengenai Cut Vi: ia terlalu bera- ni. Aku sering menasihatinya untuk tidak terlalu vokal, tidak terlalu gencar dalam mengkritik pemerintah maupun GAM. Apalagi ia sering melakukannya di jalan raya, juga dengan menyebarkan pamflet.
“Bismillah saja. Aku bicara, aku menulis. Aku menyam- paikan kebenaran di mana aku bisa. Tak harus ditentukan tempatnya,” jawabnya lugas.
“Tapi kau tahu banyak yang mati dan diculik entah oleh siapa?”
“Kalau itu dalam rangka memperjuangkan kebaikan untuk orang banyak, mengapa tidak risiko itu ditempuh, Agam?”
“Dasar keras kepala!”
“Hmmm, dasar temannya keras kepala!” balasnya.
Aku menganggap Cut Vi dan Intan sebagai adik. Adik yang tak pernah kumiliki. Tapi Bang Ismail, kakakku tak per- caya. “Mungkin kau suka pada salah satu di antaranya? Nah yang tak kau suka bolehlah buat Abang. Atau temanmu yang kau ceritakan itu saja yang buat Abang. Yang ada di Jakarta. Siapa? Mawar? Melati? Lupa aku!”
Dasar bujang lapuk.
Beberapa lama tak bertemu dengan Cut Vi, kudengar ia pergi ke Jakarta. Katanya mau ke DPR, juga ingin orasi di depan istana. Oh, gadis macam apa kenalanku ini? Aku me- lihatnya beberapa kali di televisi. Wajah keras, kalimat lugas, hati baja. Itu memang dia.
Waktu berlalu dan aku tenggelam dalam pekerjaanku di sebuah perusahaan besar di Banda Aceh. Cut Vi dan Intan juga sudah lama tak menghubungiku.
Tenang saja, kalau kami tak menghubungi Agam, berarti ada orang lain lagi yang bisa diberdayakan!
Aku geli sendiri mengingat perkataan Cut Vi itu. Kadang harus kuakui aku sedikit rindu dengan aktivitas sosial kami. Sampai suatu pagi aku terlonjak mendengar suara Intan di telepon.
“Agam, Cut Vi hilang!”
Tanganku mengepal dan tak kusadari mendarat keras di atas meja kerjaku. Kertas-kertas berhamburan. Gila, hal yang kukhawatirkan tentang gadis itu terjadi!
Illahi, jangan sampai gadis sebaik Cut Vi mati secepat ini. Ya mudah-mudahan tak ada yang menculiknya. Semoga
ia hanya pergi ke suatu tempat dan belum sempat memberi kabar. Semoga….
“Dia pasti diculik!” kata Intan panik. “Sudah lebih dari tiga hari.”
Tapi siapa yang mau menculiknya?
Aku, Intan dan beberapa teman mencoba mencarinya ke berbagai tempat yang kira-kira sering atau pernah dikunjung- inya. Kami mendatangi hampir semua teman LSM, berbagai panti, inong bale. Sia-sia. Cut Vi lenyap tanpa bekas.
Sejak hari itu aku berlangganan lebih dari satu koran dan lebih rajin menonton televisi. Sering juga kusempatkan diri menjenguk Mamak Cut Vi yang sebatang kara.
“Aku hanya mengharap seorang cucu darinya. Kini ia juga pergi.” Suara tua itu tanpa intonasi, wajahnya miskin ekspre- si. Mungkin karena ia begitu sering kehilangan.
Hari berlari dan lagi-lagi aku gagal menghilangkan Cut Vi begitu saja dari memori. Di sela-sela waktu aku mengunjungi anak-anak di panti tempat Cut Vi mencurahkan perhatian. Melalui bola mata suram kanak-kanak itu yang sedikit me- nyala saat bercerita tentang Cut Vi, aku tahu betapa gadis itu sangat dicintai.
Maka aku seperti dikejutkan para serdadu, ketika suatu pagi Intan menelepon: “Agam, Cut Vi sudah kembali! Dia dirawat klinik dekat panti!”
Dadaku berbuncah. Di klinik, tak percaya aku dan Intan memandang wajah pucat dan tirus Cut Vi. Gadis itu tergolek lemah. Berat badannya susut, tapi bibirnya melengkung le- bar, menghias manis wajahnya.
“Apa yang terjadi, Cut Vi?” tanyaku ingin tahu.
“Tak ada, semua baik,” katanya.
“Kau ini. Siapa yang menculikmu?” desakku.
“Ada sekelompok orang ingin berdiskusi denganku. Mere- ka membawaku ke dalam hutan. Dan sekarang mereka sudah mengembalikanku. Oh ya, Intan, bagaimana kabar anak-anak panti, kabar ibu-ibu di inong bale?” tanyanya. “Aku sudah tak sabar untuk bertemu mereka!”
Aku dan Intan hanya bisa menarik napas panjang. Cut Vi ditemukan seseorang di pinggiran kota dalam keadaan lemah lalu diantarkan ke klinik. Dan kini ia tak mau bila kami mengo- rek kembali peristiwa yang menimpanya. “Mereka cuma mau mengobrol. Aku tidak disiksa sama sekali,” ujarnya. “Sudah- lah.”
Tak lama kemudian dengan gembira ia berkata, “novel per- tamaku akan terbit.”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Ia meng- alihkan soal penculikan ke persoalan novel. Dan semangat itu mengalahkan sakit yang masih membias di wajahnya.
“Selamat!” seruku dan Intan nyaris berbarengan. “Nanti lihat halaman persembahannya ya. Ada kejutan,” tuturnya padaku dengan mata bintang yang datang tiba-tiba.
Namun hal yang paling mengejutkan tentang Cut Vi da- tang sebulan kemudian, lewat sepucuk surat yang ia tujukan padaku.
Aku ingin menjadi istrimu.
Aku percaya pada apa yang kulakukan dan tak peduli bila ter- kesan aku yang melamarmu. Lagi pula apa salahnya meminta pria berbudi menjadi suami? Maka, Agam, sudikah?
Ya Allah, Cut Vi! Apa ini? Lamaran? Apa yang harus kuka- takan padanya?
Jujur aku tak memiliki perasaan istimewa pada Cut Vi. Aku merasa tak pernah memberikan harapan. Aku hanya mencoba bersikap baik. Aku simpati, kagum terhadap dirinya, kegigihannya dalam membantu orang lain.
Aku sendiri memang berencana melamar seseorang. Dan itu bukan Cut Vi, tapi Mawar. Aku dan Mawar sebenarnya tak mempunyai ikatan apa pun. Dia bukan kekasih atau tu- nanganku. Kami hanya pernah sama-sama aktif dalam berba- gai kegiatan kemahasiswaan di almamater kami. Aku tertarik pada kepribadian dan tentu saja kecantikannya. Tampaknya ia pun begitu. Bulan depan aku berniat ke Jakarta dan me- mintanya menjadi istriku.
Namun bagaimana kusampaikan ini pada Cut Vi? Batinku berguncang, seolah dilanda gempa.
Dan gempa di hatiku tak disangka menjadi gempa betulan pagi ini di Aceh.
Aku, keluarga dan masyarakat sempat panik. Alhamdulillah gempa itu tak menghasilkan kerusakan yang berarti. Aku juga masih bisa pergi ke kantor, meski terlambat. Surat Cut Vi yang sudah berkali-kali kubaca, masih ada di kantong bajuku. Entah mengapa aku begitu resah. Aku menyukai Mawar tapi aku tak bisa melupakan Cut Vi. Kalau kutolak, apa yang akan dilakukan Cut Vi? Gadis itu tegar, mengingatkanku pada Cut Nyak Dhin. Pada Cut Meutia. Pada Intan Meurah. Mungkin aku sedikit berlebihan. Yang pasti ia penuh cinta dan penger- tian. Sedang Mawar? Wajah cantiknya menari-nari di ha- dapanku. Senyumnya yang manis, karakternya yang lembut, bahasanya yang santun….
Mobil kukendarai begitu pelan. Sekonyong-konyong….
“Lariiiiii! Aiiir, aiiiiirrr!!”
Aku terkejut mendengar berbagai teriakan dan jeritan. Tak jauh di belakangku banyak orang berlari dan di belakang mereka…air! Air? Ombak? Gelombang besar hampir setinggi pohon kelapa? Apa aku tak salah lihat? Ya Allah, apa ini?
Aku gugup. Tiba-tiba mobilku mati. Tak ada waktu untuk memperbaiki. Aku berlari bersama ratusan orang. Tak ada tempat tinggi di sini. Aku tak tahu harus ke mana. Aku berlari bagai terbang dan gelombang itu terus menerjang, meng- gulung segala! Tak ada lagi yang kusebut kecuali Tuhan. Pasrah. Bayangan Mak, Ayah, Bang Ismail melintas cepat dihalau gelombang. Lalu Cut Vi, anak-anak panti….
Antara sadar dan tiada aku masuk ke dalam masjid dan meraih sebuah pilarnya. Gelombang itu menerkam, menam- par-nampar. Aku terkapar. Segala rebah, runtuh.
Sunyi. Lamat kudengar suara-suara rintihan, lalu tangisan pecah. Jeritan yang melengking, mengiris-iris sanubari. Di mana aku?
Air menggenangi reruntuhan puing yang berserakan di sekitarku. Gelombang itu telah melumat rumah, perkantor- an, gedung, kendaraan. Semua kini lebur dan membangkai. Sebuah perahu nelayan yang cukup besar, yang harusnya ada di pelabuhan, kini mendarat beberapa meter saja dari wajah- ku! Pastilah ia terhempas puluhan kilometer.
Masjid Al Kautsar, di dalamnya kini aku berada. Kuyup dan ternganga. Masjid ini utuh. Hanya bagian bawahnya yang sedikit rusak disapu gelombang.
Aku batuk berkali-kali. Air berlumpur telah menjamah kerongkongan dan masuk dalam paru-paruku. Nanar mataku
menangkap tubuh-tubuh bergelimpangan. Tuhan, apa itu? Mayat? Betul, itu mayat dalam berbagai posisi, berbagai seri- ngai ngeri. Aku tak mampu menghitung jumlahnya! Di atas puing-puing di sebelah kiri masjid, seorang bocah tanpa baju, dengan mata tak berkedip menatapku. Tak ada tangis. Hanya luka dan lumpur di badannya. Matanya kaca. Mematung. Kosong. Poranda.
Untuk pertama kali seumur hidupku aku merasa sangat sesak! Semakin sesak! Apa yang terjadi di serambi kami, Illa- hi? Ayah, Mak, Bang Ismail? Bagaimana kabar mereka? Cut Vi? Ah mengapa aku sangat mencemaskannya?
Kurogoh kantong kuyupku. Tak ada lagi surat biru itu. Hanya bubur kertas, lumpur dan serpihan pilu.
***
Keluarga kecil kami selamat namun banyak kerabat dan te- tangga yang tewas. Ayah dan Mak trauma. Kami memutuskan pindah ke Jakarta. Apalagi memang tak ada yang tersisa di sana kecuali luka, puing serta tubuh-tubuh yang terbongkar di tepi jalan.
Tapi hari ini, Dua minggu setelah peristiwa gelombang tsunami yang menghancurkan itu, aku kembali menapakkan kaki di Banda Aceh bersama para relawan lainnya. Gebalau. Perih melanda saat mataku melayang ke berbagai penjuru serambi. Di sana hanya ada puing-puing, ribuan mayat yang belum semua bisa dievakuasi. Entahlah, jumlahnya mungkin melebihi korban Perang Dunia. Lalu para pengungsi tanpa MCK. Mereka rawan penyakit, kelaparan dan kedinginan.
Ratusan bocah kehilangan ayah ibu. Ratusan orang kehilang- an rumah dan saudara. Di jalan, orang-orang gila berkeliaran.
“Saat kejadian itu, aku dan Cut Vi ada di panti. Cut Vi ber- lari sambil menggendong dua bayi. Hingga kini kami belum bertemu lagi dengannya. Entah bagaimana nasibnya. Mamak- nya dipastikan tewas,” tutur Intan dengan mata merah. “Cut Vi,” bibirku bergetar menyebut namanya. Sungguh aku berharap, aku merasa ia masih bernyawa, berdenyut di suatu tempat. Tapi bagaimana kalau ia…? Ra- hangku mengeras, pandanganku mengembun. Bayangan wajah Cut Vi, sikapnya yang berani dan apa adanya. Aku….
Perlahan kuraih sesuatu dari dalam ranselku. Sebuah no- vel yang kubeli di toko buku, di Jakarta. Tertulis: cetakan I, 27 Desember 2004. Pada halaman persembahan dapat kubaca jelas: buat Agam Faris.
Kupandangi buku perdana Cut Vi itu lama. Kubaca judul- nya: Aku Pulang. Ah, ke manakah kau pulang, Cut Vi? Cut Vi tentu belum sempat melihat atau memegang novel yang terbit sehari setelah gelombang tsunami itu. Apakah novelmu berakhir dengan bahagia, Cut Vi?
Sesuatu menyengat hatiku. Meremasnya berkali-kali.
Aku akan mencarinya. Aku harus mengetahui nasibnya. Aku berharap Cut Vi hanya hilang seperti waktu itu. Sekejap, lalu kembali. Bagai seorang “Cut Nyak”, mungkin kini ia sedang menolong seseorang atau masyarakat di suatu tempat, seperti biasa.
Kupandang kembali novelnya. Sepucuk surat terselip di bagian tengah buku itu. Kertasnya biru dan baru. Aku hafal betul bunyinya.
Aku ingin menjadi suamimu.
Aku percaya pada apa yang kulakukan karena aku sangat peduli padamu. Lagi pula memang selayaknya aku meminta ga- dis berbudi dan pemberani untuk menjadi pendamping abadiku. Maka Cut Vi, sudikah?
Cut Vi menunduk. Untuk pertama kali sejak bertemu dengannya, aku melihatnya tersipu, di bawah bayang-bayang senja.
Ya, Cut Vi tak akan pernah bisa betul-betul pergi. Ia abadi saat aku memanggilnya atas nama kenangan.
***
Rawamangun, 18 Januari 2005