Halaman
191
Tanggal Terbit
2009
ISBN
9789791915441
Penerbit
ANPH
Sudah tiga hari, Cut. Tapi aku masih berharap akan melihatmu.
Lelaki bertubuh jangkung, dengan kulit legam itu terus berjalan tanpa alas kaki. Sesosok tubuh mungil dalam gen- dongan sesekali menggeliat. Mungkin karena udara panas yang menyengat. Mungkin juga akibat bau menusuk, atau lapar yang teramat sangat.
Laki-laki itu terus berjalan. Kedua tangannya yang kurus terkadang membelai punggung si sosok kecil. Me- nenangkannya. Mendekapnya lebih erat. Berharap ke- hangatan cinta bisa menyumpal rasa lapar. Sia-sia. Mahluk kecil di pelukannya malah terisak diantara suara batuk yang mengguncang bahu kecilnya.
“Sshh… sshh….” Si lelaki menggoyang-goyangkan halus tubuh ringkih anaknya. Suara isak masih terdengar sebelum pelan-pelan
senyap.
Matahari tegak lurus di atas kepala. Si lelaki me- mandang cermat daerah yang dilalui. Puing-puing ba- ngunan dan serpihan kayu menumpuk. Tubuh-tubuh membujur kaku. Nanap matanya mencari-cari, melihat satu persatu.
Tak tahu harus lega atau menangis.
Setelah Ayah, Mak dan saudara-saudaranya tewas dalam gelombang tsunami yang menggulung, hanya pe- rempuan itu yang menjadi tumpuan harapan. Ahh, di mana engkau, Cut?
Pernikahan mereka adalah kebahagiaan yang sempurna. Cut Rani, gadis kebanggaan di Keudah. Incaran banyak mata. Dan dia, lelaki yang hanya memiliki rasa, me- menangkan pertarungan.
“Selamat kawan!”
Hasan, teman semasa SMA, menjabat tangan Firman kuat-kuat. Lelaki berkulit gelap dengan rambut berombak itu sedikit tersipu. Sudah bukan rahasia di kampong mereka, perihal perasaan sahabatnya itu pada Cut Rani, istrinya kini.
Firman membisikkan kata itu dalam hati. Sambil kedua mata menikmati betul pemandangan di sisinya.
Cut Rani tampak luar biasa cantik hari itu. Wajahnya tak putus mendulang senyum. Kelopak matanya me- nyambut ramah tamu-tamu yang mendekat. Ada bintang kecil-kecil menari di sana, dan tertangkap siapapun yang beradu pandang dengannya. Butiran keringat di pucuk hidung kian menambah pesona gadis itu.
Firman mengulang-ulang kata itu di kepalanya. Sambil menerima uluran ucapan selamat. Sering pemuda itu harus tersenyum malu, saat menyadari perhatian dan wajahnya, beberapa kali tak terfokus pada tamu-tamu yang memberi selamat. Sebab Cut Rani begitu indah.
Banyak lelaki mendapatkan perempuan, batinnya, tapi tak semua mendapatkan istri.
Dia sungguh beruntung.
Firman lama bekerja di Jakarta selepas kuliah. Atasannya, juga teman-teman satu kantor, kelihatan mudah saja mendapatkan perempuan. Putus satu, sambung satu. Putus. Sambung lagi. Putus, sambung lagi. Bahkan tak perlu ada jeda setelah putus. Seolah panah asmara begitu elastis untuk dibelok-belokkan, ketika target yang dipasang berubah arah.
Tapi banyak dari perempuan-perempuan yang sebagi- an dinikahi oleh teman-teman sekantornya, jauh dari kriteria lelaki itu.
Dandanan, gaya bicara, cara mereka berpakaian. Perempuan-perempuan itu cantik. Dan di mata Firman, itulah yang didapatkan teman-temannya. Mereka men- dapatkan perempuan, tapi bukan istri.
Tentu saja pendapat itu hanya disimpannya diam- diam. Bisa-bisa diketok kepalanya jika mereka tahu apa yang dipikirkannya.
“Apa salahnya dengan perempuan cantik?” Protes Iwan, sahabat di kantor.
Firman menggeleng. Bingung juga disergap tiba-tiba begitu.
“Bukan itu.”
“Ah, jangan munafik, Firman. Bukankah itu yang per- tama membuat kita tertarik pada mereka?”
Firman ingin menggeleng. Tapi dirasanya percuma. Mereka tak akan mengerti, pikirnya. Betul, percuma.
“Yang penting cantik! Seksi. Apa lagi?”
Bayangan Cut Rani mendadak saja berkelebat.
Cut Rani yang sehari-hari berbaju kurung dan kain. Cut Rani yang kerap tersipu setiap bersitatap dengan laki- laki. Cut Rani yang rajin mengaji.
Mata kejora, hidung bangir, dan bibir merah jambu milik gadis itu nyaris sama istimewanya dengan gadis-gadis
lain yang Firman temui di kota. Tapi entah kenapa, bernilai lebih ketika semua itu menyatu pada sosok Cut Rani. Dada Firman berdebar keras.
Di kursinya, Iwan masih menunggu jawaban. Bagi cowok berambut kelimis itu, Firman terlalu sombong sebagai lelaki. Entah apa pula yang bisa disombongkannya? Setidaknya pegawai perempuan di kantor mereka yang rata-rata masih muda itu pasti setuju. Sebagai lelaki, cowok Aceh itu belum memiliki apapun. Karir saja baru dimulai. “Kalaupun kusampaikan, belum tentu kamu mengerti, Wan!” Kalimat itu diucapkan Firman hati-hati, “Sudahlah!”
“Try me!” Iwan mendekatkan kursinya, hingga berhadapan persis dengan Firman.
“Keluargaku di kampong banyak yang susah.” “Lalu?”
Firman tertawa, “Aku harus sombong biar tak mudah patah hati.”
Sebenarnyalah, kesetiaan sudah lama dia bangun. Kesetiaan yang nanti akan dipersembahkannya pada gadis dari Keudah itu. Cut Rani
Iwan tak sepenuhnya mengerti. Tapi ketika dia me- nuntut penjelasan, Firman hanya tertawa, lalu membalik- kan kursi, kembali menghadap meja komputer.
Di mana kau, sayang?
Lelaki itu duduk bersandar pada sisa dinding sebuah bangunan. Di pangkuannya si bayi mungil tampak lemas. Mata kecilnya sayu. Tubuhnya terkulai. Batuk-batuknya makin keras. Tarikan napasnya melambat. Keceriaan sudah lima hari ini terbang entah kemana. Juga celoteh riang dalam bahasa bayi yang biasa mereka dengar.
Mereka. Dia dan Cut Rani.
Biasanya dia dan istri kerap memandangi wajah lelap Meutia dengan kedua pipi yang montok dan tubuh yang berisi.
“Anak-anak kecil tu luar biasa ya, Bang…”
“Apanya?” lelaki itu menatap cermat wajah Meutia. Menggemaskan, seperti bayi umumnya.
“Mereka begitu kecil. Begitu mungil.” Berkata begitu Cut Rani menyelipkan jarinya hingga berada dalam geng- gaman si kecil.
“Memang begitu. Kalau besar namanya bukan bayi lagi.”
Dia mencoba melucu. Cut Rani memanyunkan bibir. Indah. Lelaki itu selalu bisa menikmati ekspresi istrinya. Bahkan ketika Cut Rani mengomel atau merajuk.
“Abang, nih. Tengoklah…”
Seperti mendapatkan komando dari atasan tertinggi, lelaki itu menegapkan tubuhnya, dan memberi tanda
hormat.
“Siiii… aaaap!”
“Ah, Abang nih!” Cut Rani merajuk lagi. Semakin indah di mata si lelaki.
“Apanya, Sayang?”
Mereka berdiri bersisian, memandang sosok mungil dalam boks bayi.
“Bayi-bayi ni begitu kecil, tapi besarnya kebahagiaan yang mereka timbulkan.”
Dia mengangguk. Menyetujui pendapat sang istri. Tapi kini, Lelaki itu hanya bisa mengerjapkan mata, menahan air agar tak tumpah dari sana. Cut-nya…, ke- mana lagi dia harus mencari?
Beberapa hari yang lalu, semuanya masih baik-baik saja. Mereka masih bersama. Sampai kejadian itu datang. Guncangan dahsyat yang membuat kaki-kaki tak mampu menopang badan. Mengempaskan segalanya. Keduanya bahkan harus merayap agar sampai ke boks bayi dan mengangkat Meutia.
“Bang…”
Cut Rani menatapnya. Belum pernah dia melihat pandangan istrinya sesedih itu. Tanpa bintang-bintang yang biasa menarikan kerlip di sana.
Suara teriakan panik menggema di mana-mana. Mereka tak bisa berpikir lama. Tak sempat membawa apa- pun lagi. Si lelaki hanya tahu dia harus menyelamatkan istri dan anaknya.
Mereka berhasil keluar rumah. Satu tangan lelaki itu memeluk erat bayi mereka, satu tangan lagi menggenggam kuat-kuat pergelangan istrinya.
“Cepat!”
Kepanikan di mana-mana. Bau kematian mulai mem- bayang di udara. Orang-orang tunggang langgang. Orang-orang terinjak-injak. Orang-orang menjerit. Me- nangis. Menggerung. Di antaranya ada suara mengerikan lain, bersama sesuatu yang merekah. Tanah retak-retak. Lalu sesuatu yang basah dan pekat menggulung tinggi. Mengejar!
Mereka bertatapan sekejap. Menautkan jari lebih erat. Ketika itulah dia sadar, bintang-bintang di mata istrinya benar-benar telah pergi.
Lelaki itu memandang jemarinya yang terluka. Seperti belum lama dia merasai tangan halus istrinya. Menggeng- gamnya kuat-kuat. Air matanya kembali mengambang. Begitu beberapa lama. Hingga seperti tersentak, lelaki itu teringat sesuatu. Tangannya meraba kantung celana pan- jang. Hati-hati dikeluarkannya sebentuk dompet perem-puan.
Sebelum musibah besar itu, mereka berencana ke pasar. Seperti biasa, Cut Rani telah menitipkan dompet itu padanya. Sebab sebagian besar baju perempuan itu tak ber- kantung, dan istrinya tak suka melenggang dengan tas.
Pelan-pelan dikeluarkannya kertas kecil berlapis plastik yang terselip di dompet. Tampak foto hitam putih ber-
ukuran dua kali tiga di sana. Lelaki itu menatapnya tak percaya. Lantas seolah dirasuki tenaga baru, dia bangkit, lalu menunjukkan foto dalam KTP itu kepada orang-orang yang ditemuinya. Berharap diantara mereka ada yang sempat melihat istrinya, setelah bencana maha dahsyat itu.
Tak dirasanya lelah, atau sosok mungil yang memberati sebelah tangannya. Lelaki itu terus mencegat orang-orang yang berjalan dari segala penjuru. Orang-orang yang berjalan dengan pandangan kosong.
Tapi tak ada yang melihat Cut Rani. Sebaliknya, se- bagian justru menunjukkan foto-foto lain, anak-anak, dewasa, dan orang tua. Lalu mereka sama tepekur saat me- nemukan gelengan kepala sebagai jawaban.
Cut, kemana Abang harus mencarimu?
Sebuah truk penuh barang, berhenti tak jauh darinya dan segera saja menjadi pusat perhatian. Menyadarkan lelaki itu akan kepentingan yang lain, Cut Rani kecil di tangannya.
“Sssh… ssh… Meutia, jangan tidur. Sebentar lagi kita makan.”
Lelaki itu menyelipkan KTP ke dalam dompet, lalu memasukkannya ke dalam saku celana yang kotor dan penuh bercak lumpur kering. Setelah itu bergegas mendekati truk yang sudah ramai dikerubuti orang.
Sejam berdiri dalam antrian, ia mengambil tempat agak menyudut. Memotong kecil-kecil biskuit di tangannya.
Yang Mengantarkannya ke mulut mungil Meutia, kemu- dian bergerak lambat-lambat. Sesekali terbatuk. “Ya, begitu Bang. Kalau banyak-banyak tersedak dia nanti.”
Lelaki itu merasakan matanya kembali mengembun Betapa sulit mengusir letupan-letupan kenangan. Saat kebahagiaan masih menjadi milik mereka.
“Firman!”
Sebuah panggilan didengarnya. Kali ini nyata. Hasan!
Mereka berpelukan. Menahan sedu sedan yang meng- gumpal di dada, dan menyisakan telaga di bola mata.
“Ada kabar tentang Cut Rani. Kau belum dengar?” Wajah lelaki itu pias. Rahangnya mengeras.
Berjingkat dia menempelkan secarik kertas berisi nama istrinya di jendela kaca. Entah posko ke berapa. Kertas itu tak sendirian di sana. Banyak kertas-kertas lain tertempel di situ. Mungkin berasal dari sosok-sosok setengah putus asa seperti dia, yang bergantung pada sehelai harapan tipis, akan keluarga yang hilang.
Hari ketujuh, dia bersama Hasan mengejar berita itu. Tentang Cut-nya. Mereka mendatangi masjid-masjid di mana jenazah Cut Rani mungkin dibaringkan, bersama
deretan korban lain. Namun hingga lelah, dia tak menemukan wajah yang selama ini begitu dirindukan.
“Maafkan aku,” Hasan memandangnya serba salah. Korban terakhir yang mereka lihat memang bernama Cut Rani. Tapi bukan Cut Rani istrinya. Di tengah ke- panikan, segala hal kerap menjadi simpang siur.
“Tak apa. Aku masih bisa berharap,” lirih suaranya, di antara perasaan kehilangan yang semakin membukit.
Tuhan, aku percaya Engkau ada, jadi berpalinglah sejenak padaku!
Sudah sepekan ini, setiap hari lelaki itu berdiri di pinggir jalan yang mulai ramai. Dengan masker di wajah dan topi butut di kepala. Di antara debu-debu yang beterbangan dan matahari yang garang.
Ia hanya sendiri, sebab si kecil Meutia kini sudah dititipkannya kepada Allah. Gadis kecil mereka tak bisa bertahan, kondisinya berangsur lemah. Napasnya ter- sengal-sengal, makin satu-satu. Tenaga medis yang sempat mengunjungi anak-anak di dalam tenda-tenda darurat yang didirikan, mengatakan kemungkinan akibat terlalu banyak menelan lumpur.
“Tidak ada teknologi yang bisa mengeluarkan lumpur dari paru-paru, belum ada. Kita hanya bisa berdoa.”
Kepada Tuhan dia telah menitipkan buah hatinya. Ke- pada Tuhan juga dia masih meletakkan harapan. Dalam rindu setiap malam. Menatap langit, dan membayangkan bintang-bintang seperti cahaya dari mata kekasihnya.
Bahkan ketika gempa beberapa kali bergoyang, lelaki itu tak pernah beranjak, sosoknya masih tegak mematung. Pelipisnya basah keringat. Tatapan matanya hampa.
Tidak, dia tak hendak menghujat Tuhan. Allah Maha- bijak, Allah pasti punya rencana. Dia pun tak hendak me- ratapi yang telah pergi. Kalau boleh, dia hanya berharap bisa menemukan kejelasan.
Di mana engkau, Cut sayang? Di manapun Abang akan terus mencarimu, mengenangmu. Tidak dalam duka. Sebab duka hanya menyisakan kepahitan bahkan pada kenangan indah, seperti senyum manismu.
Hingga bayangan senja datang, si lelaki masih di sana. Masker dan topi butut, menghias wajah lusuh. Di dada- nya terdapat sebuah papan yang digantungkan ke leher dengan seutas tali rafia. Sebuah tulisan dengan huruf besar- besar terbaca di sana.