Halaman
Tanggal Terbit
ISBN
Penerbit
Perempuan itu menangkupkan sebelah tangannya di wajah. Satu tangan yang lain mengusap gundukan tanah kering yang ditutupi pelepah besar pohon kelapa, yang tak kalah cokelatnya, dan sesekali berderak tertiup angin.
Ujung-ujung gamis birunya terempas-empas hawa kering Bireuen. Namun ia seolah tak peduli. Ada sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang merampas seluruh hati dan perasaannya. Dan sesuatu yang penting itu, kini ter- kubur di balik gundukan tanah di dekatnya.
Setelah hanya merayapi sosoknya yang setia duduk ber- lama-lama di sana, menyaksikan dua bahunya yang turun- naik karena isak kesedihan, aku pun menghampiri. Hati- hati, sebab tak ingin mengusik kedukaannya.
Sementara di dalam hati aku mulai menyusun kata- kata menghibur yang mungkin bisa meredam sejenak tangis menyayat perempuan berkulit gelap itu, mulutku justru mengucapkan kalimat tanpa rasa.
“Kapan peristiwanya, Inong?”
Di mana kejadiannya, bagaimana berlangsungnya… adalah pertanyaan berikut. Aku harus tahu bagaimana suami perempuan berwajah keras itu meninggal. Memang tidak manusiawi. Tapi deadline yang menungguku, memer- lukan semua itu; data-data lapangan, hasil-hasil facts finding, yang jelas dan akurat. Kisah-kisah tragis pastinya menarik untuk dibaca. Dan supaya aku bisa menghasilkan laporan yang membuat pembaca tersentuh, tak ada yang bisa kulakukan memang, selain melalui wawancara sebaik mungkin.
Berita-berita lain sudah kudapat, ketika pandanganku terpaut pada sosok kurusnya yang bersimpuh di sana selama lebih dari satu jam. Naluri wartawanku mencium sesuatu yang tidak biasa.
Berat, kutangkap dadanya menaik. Helaan napas panjang dan sesak, terdengar. Sedu sedan itu, entah siapa mampu mendiamkan. Dan memang masih dengan air mata, perempuan berkerudung biru muda yang diikat ke belakang lehernya itu menjawab. Mata cekungnya masih menatap gundukan tanah kering yang ditutupi pelepah daun.
“Sepekan lalu. Ahh…..”
Kalimatnya menggantung. Air matanya mengucur deras lagi. Membuatku berteriak-teriak dalam hati. Jangan menangis, perempuan. Jangan. Sebab masih banyak yang ingin kutanyakan, masih banyak yang memerlukan jawaban. Tapi bukan kalimat itu yang keluar dari mulutku, “Di mana kejadiannya?”
Perempuan itu menunjuk ke arah belakang rumah. Bibirnya gemetar, sementara kedua tangannya bergerak- gerak tak teratur. Tapi guyuran air mata melahirkan isak yang membuatnya sulit bicara.
Aku diam. Menunggu. Hanya lampu kamera yang me- nyala beberapa kali. Mengabadikan kesedihan dalam dimensi lain. Bahasa gambar.
“Kenapa harus dia? Dia yang baik, rajin, dan tak pernah menyusahkan orang lain. Kenapa dia?”
Suaranya serak dan bernada pilu. Aku mengangguk. Mencoba memahami kesedihannya. Dalam benakku, ke- hilangan pasangan hidup, suami atau istri, pasti sangat me- nyedihkan.
“Inong mestilah sangat mencintai almarhum.”
“Ya. Lebih dari diriku sendiri,” ia menjawab dengan suara lemah, “ia tulang punggung keluarga kami. Penghibur bagi anak-anak kecil sini.”
Penghibur? Aku tak mengerti.
Kepala perempuan itu mengangguk bagai mengerti pertanyaan yang melintas di benakku. Tangannya yang berlepotan debu mengusap air mata yang membasahi pipi.
“Kau lihat truk mainan dari kayu tu?” telunjuknya mengarah ke pelataran, tak jauh dari kuburan.
Aku mengangguk. Jarak dua meter dari tempatku besar berjongkok, memang terlihat sebuah truk kayu yang dan tampak rapi, meski belum selesai. Badannya bahkan belum dicat.
“Dia membuatnya sendiri. Sisa-sisa kayu. Tak ada mainan truk sebesar itu. Ia membuat anak-anak di sini senang dan tak sabar menunggu truk itu selesai dibuat.”
Laki-laki yang baik, desisku dalam hati. Kehilangan orang yang dicintai bukanlah hal yang mudah untuk dilalui, sebab bagaimanapun ia telah menjadi bagian hidup kita, sejarah. Apalagi jika ia adalah orang yang teramat baik.
Perempuan itu bangkit, tubuhnya goyah beberapa saat. Aku berjaga di belakangnya. Sekeliling kami yang tadinya sepi, mulai dipadati orang. Beberapa perempuan sebaya menggamit tangannya, menepuk pundak perem- puan tanpa alas kaki itu, dengan tatapan mengilat air mata. Halus, aku meminta mereka menjauh, dan meninggalkan kami berdua.
Tertatih, perempuan kurus itu berjalan mendekati rumah yang hanya berjarak dua meter. Bangunan setengah jadi seperti kebanyakan terlihat di kabupaten Bireuen ini, hanya beratapkan rumbia. Setengah bagiannya berupa bata belum diplester, lainnya berupa bilik. Dari celah- yang celah rumbia sinar matahari masuk ke dalam, hingga aku bisa membayangkan kondisi rumah ini jika turun hujan. Belum lagi lantai tanah yang keras dan tidak rata.
Perempuan itu menarik mainan truk yang tadi di- singgungnya, mengelus-elus setiap sisi dengan penuh sayang. Ketika tangannya menyentuh bagian bawah truk, dua mata penatnya kembali meredup.
“Truknya baru setengah jadi,” ujarnya seperti berkata pada diri sendiri. “Keempat rodanya belum sempat dipasang. Dia bilang akan memasangnya besok, itu tepat di hari dia tertembak.”
Tangis perempuan bergamis biru itu pecah kembali. Menyayat. Tangannya memeluk truk kayu itu dengan penuh perasaan. Dibelainya dengan sepenuh cinta seolah membelai pemiliknya yang telah tiada.
“Daud…,” lengkingnya sedikit serak. “Kenapa…,” suara seraknya yang tersendat-sendat lagi terdengar. “Kenapa harus pergi? Kenapa?”
Aku terenyak dalam posisi serba salah. Bukan tak me- ngerti kesedihan yang menggayuti perempuan di depan- ku, hanya saja wawancaraku belum selesai. Bagaimana bisa jika ia terus menangis?
Ia mengusap hidung dan air mata yang masih terus meleleh dengan ujung kerudungnya. Matanya yang besar, dengan dua kelopak yang dipayungi bulu mata hitam lentik, khas rakyat Aceh, tampak merah.
Inong, perempuan… diamlah! Diam agar aku bisa ber- tanya lebih jauh, batinku dalam hati. Perempuan itu menatapku, tapi tak lama. Pandangannya cepat beralih kedalam rumah. Seolah mengharapkan lelaki nya muncul dari pintu yang terbuka lebar.
“Apa kerjanya tiap hari, Inong?”
“Ia menjaga tambak ikan dan udang, tak jauh dari sini.” Aku mengangguk. Mencoretkan beberapa hal dinotesku.
Sekitar kami berdua sepi. Hanya sesekali tiupan angin yang panas dan kering, menampar daun-daun besar di depan makam sana, menimbulkan bunyi keras yang harmoni, seolah memiliki ritme tersendiri. Alam yang me- ngaturnya. Terik matahari yang kian garang menyengat- ku, seperti tak berpengaruh apa-apa bagi sosok perempuan yang masih belum berhenti menangis itu.
Ia masih setia menangis. Beberapa kali kepalanya di- tundukkan kian dalam, seraya mulutnya komat-kamit. Mungkin mengucap doa. Lalu pemandangan yang sejak tadi tampak, hadir kembali. Tangannya yang ditangkup- kan ke wajah, sementara pundaknya turun-naik, seiring isak yang masih terdengar.
“Daud, kenapa kau yang pergi, Sayang? Kenapa kau? Kenapa bukan aku yang mati?”
“Inong, tak baik menyesali takdir.”
Kalimat yang sejak tadi kutahan-tahan, akhirnya ter- cetus juga. Sebagai wartawan, sejak awal aku mencoba untuk tidak terlibat secara emosional. Aku melarangnya menangis. Entah karena kebutuhan wawancara, aturan
agama, mungkin juga karena dadaku yang tiba-tiba ikut sesak.
“Setiap orang ada waktunya, Inong. Suami Inong pun di alam sana pasti tak suka Inong menangis dan meratapi- nya berlebihan.”
Serta merta perempuan bergamis biru yang terduduk di pelataran rumah dan tanpa alas kaki itu, menatapku marah. Luka.
“Kau tak mengerti,” sergahnya tegas.
“Tak mengerti apa? Kedukaan yang dirasakan Inong? Mungkin tidak. Tapi tak baik berduka berlarut-larut. Inong harus sabar!”
“Kalau tak sabar, barangkali aku sudah…”
Tatapan matanya semakin menusuk. Tapi nada suaranya melemah. Seperti memintaku untuk membiar- kannya menangis. Barangkali dengan menangis kedukaan bisa lebih dinikmati. Terus terang aku tak kuat menantang matanya. Maka kualihkan pandangan ke tempat lain.
“Kau tak tahu apa-apa, Nak. Kau tak tahu!” ujarnya dengan nada setengah frustrasi, setelah kami terdiam be- berapa lama. Seperti meremehkan semua bentuk ke- hilangan yang pernah kualami. Seolah duka seperti yang sekarang disandangnya tak pernah terbayangkan di benakku.
“Kalau begitu,” balasku keras kepala, “jelaskan kenapa, Inong? Saya bertemu dengan banyak inong lain yang suaminya meninggal. Tapi mereka bisa menerima itu dengan lapang dada. Sebab mereka bilang, di Aceh ini, kehilangan keluarga seperti menunggu giliran, cuma masalah waktu dan sedikit keberuntungan.”
“Tapi itu tidak berarti mereka tak sedih,” tukasnya dengan mata menyorot luka. Bibirnya bergetar, lalu tangis- nya pecah. Berpuluh bahkan beratus butiran kaca yang mengambang di matanya ruah.
Lalu tiba-tiba seperti lepas kendali, ia berlari ke dalam rumah, kemudian keluar dengan mendekap sepotong baju.
“Subuh itu aku mendengar sesuatu dari arah tambak. Tapi karena takut, aku tak keluar. Baru paginya aku diberi tahu Daud mati. Ia terkena tembakan di tambak, mayatnya ditemukan di sawah belakang. Aku bahkan tak mampu memandang wajahnya untuk terakhir kali, karena pingsan.”
Melihat baju berlumur darah di bagian dada, tiba-tiba membuatku ingin kembali menyuruhnya diam. Berhenti- lah menangis, Inong.
Kali ini bukan untuk menyelesaikan wawancara yang sesak dan mataku yang tertunda. Tapi karena dadaku yang tiba-tiba panas. Pandanganku terpaku pada tiga lubang kecil bekas tertembus peluru di bagian dada, yang menyisakan banyak darah kering.
“Peluru yang lain menembus kepalanya,” ucapnya tersekat.
Aku tersentak. Perempuan di hadapanku membenam- kan kepala dalam baju terakhir yang dipakai Daud. Dari noda darah yang mengering, aku tahu betapa hebatnya per- darahan yang dialami laki-laki bernama Daud itu. Suami yang baik, laki-laki yang menimbulkan kecintaan besar di hati istrinya. Laki-laki yang suka menghibur anak-anak.
Ahh, aku menghela napas dalam. Benarlah, saat kematian demi kematian lahir dari sebuah perang, tak penting lagi siapa melawan siapa, mana yang benar, mana yang salah. Akan tetapi, sebuah tragedi kemanusiaan luar biasa sedang berlangsung, ya… tragedi.
Angin sore Bireuen masih berembus, kering. Perem- puan berkerudung di depanku kembali bicara, matanya berangsur sayu.
“Tiga tahun lalu aku juga pernah kehilangan. Berat memang. Tapi ini…”
Perempuan itu terhenti oleh air mata yang masih saja mengalir dan membuat dadanya tersengal-sengal. Pan- dangannya yang kosong menatap tepat di kedua bola mata- ku ketika pertemuan kami berakhir.
“Daud bahkan belum lagi 13 tahun. Anakku itu belum lagi 13 tahun! Kau mengerti itu?”
yang baik Notesku jatuh. Dan kesedihan yang kukira hanya milik perempuan, menderas dari mataku.