Halaman
191
Tanggal Terbit
2009
ISBN
9789791915441
Penerbit
ANPH
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkap- kan alasan, kenapa ia mau menikah dengan lelaki itu.
Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, tetapi menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
“Kenapa?” tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata ter- tuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon lima belas watt. Dalam hati-nya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beter- bangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik napas, mencoba bicara dan… menyadari, ia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara, mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu, saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga, Nania anggap momen yang tepat di mana semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta ‘buntut’ mereka.
“Kamu pasti bercanda!”
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga dan terakhir dari Papa dan Mama, mem- buat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan ke- ponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania! “Nania serius!”
Tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
“Tidak ada yang lucu,” suara Papa tegas, “Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!”
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak se- penuhnya benar, sebab setelah itu berpasang mata kem- bali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi pengadilan kepada seorang tertuduh.
“Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?” Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, “maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya toh?” Nania terkesima.
“Kenapa?”
“Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik!”
“Sebab kamu paling berprestasi, dibanding kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba bela diri. Kamu juga juara debat Bahasa Inggris, juara baca puisi sepropinsi. Suaramu bagus!”
“Sebab masa depanmu cerah, sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki mana pun yang kamu mau!”
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat ia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka, atas satu kata ‘kenapa’ yang barusan Nania lontarkan.
“Nania cuma mau Rafli,” sahutnya pendek, dengan air mata siap tumpah.
Hari itu ia tahu, keluarganya sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. “Tapi, kenapa?”
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka
matanya,
“Tak ada Cukup!
yang
bisa dilihat pada dia, Nia!”
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran- ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang se- bagai manusia. Di mana iman, di mana tawakal hingga be- gitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya, Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak bersahaja.
Nania cuma memiliki naluri dan sedikit pemahaman, berdasarkan perasaan yang telah menuntunnya menapaki hidup, hingga umur dua puluh tiga. Dan nalurinya mene- rima Rafli. Di sampingnya Nania merasa bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang ia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besarnya hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
“Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.”
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
“Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis se- cantikmu!”
“Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!”
“Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar dan punya kehidupan sukses!”
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
“Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!”
“Betul. Tapi dia juga tidak ganteng, kan?”
“Rafli pintar!”
“Tidak sepintarmu, Nania!”
“Rafli juga punya pekerjaannya lumayan.”
“Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak seperti-
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak- kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
“Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk meng- hidupimu!”
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu. Ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka
memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu, sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.
“Tak apa,” kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
“Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.”
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi ia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar, selalu bisa menangkap maksud baik,
“Sebaiknya Nania tabungkan saja, ya?”
Lalu ia mengelus pipi Nania, dan mendaratkan kecupan lembut. Dan saat itu, sesuatu seperti kejutan listrik menyentak otak Nania. Inilah hidup yang dimimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan bagaimana pun menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik
orang-orang dikantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik, ya… dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu akan membuatnya frustasi. Se- karang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap tidak peduli, toh ia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Tapi bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Meski sudah lewat dua minggu dari waktunya.
“Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!”
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania, me- masukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan konstraksi hebat, hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat, lelaki itu me- ninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orang tua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pem- bukaan berjalan lambat sekali.
“Baru pembukaan satu.”
“Belum ada perubahan, Bu.”
“Sudah bertambah sedikit,” kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan, “Sekarang pem- bukaan satu lebih sedikit.”
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki selera humor yang baik.
Tiga puluh jam berlalu, baru pembukaan dua. Ketika ketuban akhirnya pecah, didahului keluarnya darah, dan mereka terlonjak bahagia, sebab dulu-dulu kelahiran akan segera mengikuti tak lama setelahnya. Perkiraan mereka meleset.
“Masih pembukaan dua, Pak!”
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa terhibur, karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggung- nya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
“Bang?”
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memper- juangkan dua kehidupan.
“Dokter?”
“Kita akan segera melakukan operasi. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.”
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?
Mereka masih berpandangan, Nania berusaha me- ngusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepas- kan genggaman tangannya, hingga di depan kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya, hingga ia tidak bisa menyaksikan keterampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menang- kap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah yang bergerak cepat, sebelum kemudian ia tak sadarkan diri.
Kepanikan berpendar di udara. Bahkan dari luar, Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafadzkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania men-
dekat.
“Pendarahan hebat!”
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.
Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi, dan entah bagaimana pecah!
Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa ter- mangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orang tua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfir yang berbeda. Le- laki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang me- ngalir di pembuluh-pembuluh darahnya, dan tak bisa di- hentikan, menyebar dan meluas cepat seperti sel-sel kanker merasuki otaknya.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak- balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarga baru mereka. Bayi itu sungguh me- nakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.
Mama, Papa dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit. Sesekali mereka kerumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah me- ninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli be- kerja, mengerti dan memberikan izin penuh. Toh dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Al Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang pe- rawat dan pengunjung yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan seder- hana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
“Nania. Bangun, Cinta!”
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang, sambil mencium tangan, pipi dan kening milik istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berpikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, membaca Al Quran dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.
Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit, dan membacanya dengan suara
pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
“Nania. Bangun, Cinta!”
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan ia bisa melihat lagi cahaya di mata cintanya, bisa menyaksikan lekukan senyum di bibir Nania.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak meme- dulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi, dan semua antusias perem- puan itu; mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta ge- rakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Hari ke tiga puluh tujuh, doa Rafli terjawab. Nania sadar, dan wajah penat Rafli adalah yang pertama di- tangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, meng- genggam tangan Nania dan mendekapkan ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan air mata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Dan Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun kemudian. Memandi-
kan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke se- kolah satu persatu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah, dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania, seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam, Rafli mendandani Nania agar cantik se- belum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania se- lalu merasa cantik, meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana Nania bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli, dengan upayanya yang terus menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya ialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari minggu, Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula ia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rek- reasi kemanapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka yang menatapnya dengan iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari.
Tetapi berangsur Nania menyadari, mereka, orang- orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga,
sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
“Baik sekali suaminya!”
“Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!” “Nania beruntung!”
“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”
sempat membuat
“Tidak, tidak cuma menerima apa adanya. Lihat bagai- mana suaminya memandang penuh cinta!” Bisik-bisik itu serupa dengungan dan Nania makin frustrasi, merasa tak berarti. Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Tapi ia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemu- dian. Orang-orang di luar memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras, Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocaknya permainan.
Ya. Dua puluh dua tahun pernikahan. Nania meng- hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa ia syukuri.
Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski ke- cantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Tapi waktu telah membuktikan segala. Cinta luar biasa dari lelaki biasa yang tak pernah berubah untuknya.