Halaman
191
Tanggal Terbit
2009
ISBN
9789791915441
Penerbit
ANPH
“Yu Tarmii…!”
Teriakan panik itu menghentikan gerak tangan Yu Tarmi yang sedang memoleskan sapuan terakhir bedak murahan ke wajahnya.
“Kasih… Kasih ketabrak motor!”
Yu Tarmi berdiri tergesa. Ragu dengan kabar yang barusan didengarnya. Di depannya seorang perempuan kurus, hanya memakai kain panjang dan BH yang sudah kusam warnanya, berdiri dengan napas tersengal-sengal.
“Kasih ketabrak motor, sekarang di rumah sakit……..” Kasih, anaknya semata wayang, rembulan tempat dia mencari cahaya, mendapat kecelakaan. Ucapan Ceu Mumu berikutnya tidak penting lagi.
Secepat hitungan detik Yu Tarmi, perempuan yang tidak tahu tahun kelahirannya sendiri itu, menyambar dompet dan memanggil Mas Jupri, tukang ojek langganan biasa mengantar Yu Tarmi ke tempat “kerja”. yang
Bau rumah sakit benar-benar bikin kepala Yu Tarmi puyeng. Perempuan itu lebih terbiasa dengan bau tubuh laki-laki yang setiap malam dia jumpai, meski aromanya khas parfum kelas rakyat.
Di ruangan UGD, Yu Tarmi menemukan Kasih ter- geletak di ranjang dengan dahi dan lutut diperban. Se- orang anak muda berpenampilan mahasiswa dan ber- tampang bersih, berdiri di sampingnya. Perhatian Yu Tarmi segera terampas ke pembaringan.
“Kasih, Cah Ayu, Rembulan Ibu, kenapa? Siapa orang kurang ajar yang bikin kamu celaka?”
Kasih meraih tangan Yu Tarmi ke dadanya, “Kasih enggak apa-apa, Bu.” jelasnya lirih.
“Enggak apa-apa gimana, Cah Ayu? Kepala diperban gitu, berdarah. Aduh… Kepalamu pasti pusing. Dasar edan orang yang sudah menabrakmu itu!”
Yu Tarmi mengomel panjang lebar, tangannya dengan lembut memijit-mijit kaki anaknya, yang dibalut selimut garis-garis biru putih.
“Bukan ditabrak. Cuma keserempet, Bu.”
Yu Tarmi baru akan menanggapi, ketika suara lain
terdengar.
“Maafkan
saya, Bu. Saya yang salah….” Sepasang mata Yu Tarmi kini membelalak. Geram.
Anak muda itu! Pasti dia yang sudah mencelakai rem- bulannya! Laki-laki brengsek yang nggak punya mata. Kurang lebar apa jalanan depan rumahnya itu? “Jadi kamu yang menabrak?”
“Bu… cuma keserempet!”
Yu Tarmi tak peduli, “Percuma punya mata dua kalau enggak bisa lihat! Jalanan lebar, kenapa Kasih yang kamu tabrak, he? Apa mentang-mentang orang kaya, boleh bebas main serabat-serobot?”
“Saya….”
“Iya, yang kamu serempet pakai motor bulukmu itu. Bisa saja kan kamu menabrak dia?”
Kemarahan Yu Tarmi berapi-api. Melihat perban dan noda darah di dahi Kasih, mau rasanya dia mengemplang kepala anak muda itu.
“Saya minta maaf.”
“Terus dengan maafmu, anakku jadi langsung sembuh? Gimana kalau gegar otak?” ketus Yu Tarmi.
“Saya siap tanggung jawab, Bu. Biaya rumah sakit akan saya urus.”
Yu Tarmi masih belum puas mengomeli pengemudi motor yang menurutnya sangat sembrono itu. Tapi tatapan
serta suara Kasih yang menenangkan, membuat emosinya sedikit mereda.
“Kasih enggak apa-apa, Bu. Tadi dokter juga bilang begitu. Sore ini bisa langsung pulang, kok.”
Tatapan Yu Tarmi tetap sinis ke arah si pemuda yang tampak salah tingkah dan kelihatan menyesal. Namun panggilan Kasih, membuat sorot mata Yu Tarmi berubah. Senyum keibuannya langsung muncul.
“Istirahat dulu. Kamu kan masih belum sehat,” suara Yu Tarmi bernada khawatir.
“Sekarang menjelang ujian akhir, Bu. Kasih takut nanti enggak lulus.” jawab Kasih sambil mencium tangan Yu Tarmi.
“Nduk, kamu harus lulus. Harus jadi orang pinter supaya enggak bisa dibohongi orang. Mesti kaya supaya bisa membantu orang miskin. Terus….”
“Terus cepat kawin supaya Ibu segera momong cucu?” Kasih menuntaskan kalimat Ibu dengan canda.
Wajah Ibu yang telah digurati garis-garis halus di sekitar mata itu, tersenyum.
Kasih bahagia melihatnya. Meski Ibu, perempuan yang konon berasal dari pesisir Utara Jawa itu menyandang predikat yang lumayan buruk di mata masyarakat, Lonte wanita tuna susila
Bagi Kasih, anak pungut yang tidak tahu asal usulnya, ke- nyataan itu seakan tidak berarti karena cinta seluas langit yang diberikan Yu Tarmi. Dan cinta sebesar itu hanya mungkin lahir dari hati yang tulus.
Bertahun-tahun ketulusan itu terekam di benak Kasih. Kerja keras Ibu membesarkannya. Perjuangan yang mem- buatnya diam-diam menyimpan kebanggaan dan rasa haru yang mungkin tidak semua orang bisa memahami. Tapi Kasih sudah melampaui batas itu. Dan predikat lonte, meski tidak disetujuinya, tak mengurangi kebangga- an yang dimiliki Kasih terhadap Yu Tarmi. Di mata Kasih yang belia, Yu Tarmi tetap rembulan diam dalam hati. yang dikemas diam-
Nyaris terlambat. Kasih menghentikan lamunannya. Mencium pipi ibu sekali lagi sebelum berangkat.
Dari balik jendela, Yu Tarmi mengikuti kepergian anaknya dengan tatapan sayang. Namun kening perem- puan setengah baya itu segera berkerut. Kasih tak sendiri. Anak muda itu, lelaki yang menyerempetnya, menunggu di ujung gang.
Tubuh Kasih yang ringan saja membonceng motor le- laki itu, membuat Yu Tarmi mengerti. Sesuatu telah terjalin di antara mereka berdua.
Tiba-tiba hatinya bergejolak. Resah. Dia ingin Kasih mendapat jodoh, namun harus dipastikan bahwa Kasih mendapat lelaki yang bertanggung jawab, hingga kejadian buruk dari masa lalu yang ingin disimpannya rapat-rapat, tidak perlu berulang. Peristiwa yang kini membentuk sketsa suram di benaknya.
Kemarahan Bapak. Kesedihan Ibu. Kehamilan yang berakhir dengan pendarahan hingga rahimnya harus di- angkat.
Dan kemana laki-laki yang bersumpah sehidup semati dengannya?
Yu Tarmi harus melalui ratusan hari dengan perasaan kehilangan yang menyakitkan. Jauh lebih sakit dibanding- kan ketika lelaki yang menghamilinya melarikan diri entah kemana.
Syukurlah Gusti Allah masih memberinya Kasih, juga kesempatan kedua menjadi ibu.
Kasih menatap Yu Tarmi yang berkali-kali membolak-
balik lembar ijazah di mana tercantum foto Cah Ayu-nya. Beberapa kali ibunya berdecak bangga,
“Ibu seneng kamu lulus….”
Diciumnya wajah Kasih bertubi-tubi. Lalu pandangan- nya menatap lagi surat kelulusan itu. Kasihnya sekarang sudah selesai SMA, lantas apa rencana gadis itu sekarang? Tapi putri cantiknya hanya terdiam saat pertanyaan itu Hal menyergapnya. Pipi gadis itu pias. kemudian yang mengingatkan Yu Tarmi pada adegan pagi itu. Kasih berboncengan dengan pemuda yang menabraknya. Tidak
hanya sekali, tapi juga pada pagi-pagi yang lain. Lidahnya mendadak susah digerakkan saat ia kembali bertanya. “Apa rencanamu, Nduk?”
Kasih menarikNapas dalam.
“Belum tahu, Bu. Mungkin kerja.”
“Kuliah?”
Kasih diam. Parasnya bergejolak. Ia ingin bisa kuliah seperti teman-teman yang lain. Apalagi prestasinya cukup baik. Tapi bagaimana dengan Ibu?
Kasih memandang sosok perempuan di hadapannya, lekat. Yu Tarmi, di usia yang lewat lima puluh, masih ber- solek layaknya gadis-gadis muda. Tubuh perempuan itu sudah tidak sintal lagi. Kerutan usia membayang di sudut- sudut mata, dahi dan lekuk senyum yang ditutupinya susah payah dengan riasan bedak tebal.
Sampai kapan ibunya harus ‘bekerja’ seperti itu? “Ibu ingin Kasih jadi orang pinter, biar tidak disem- barangi laki-laki! Kasih anak Ibu satu-satunya. Ibu akan cari uang yang banyak. Kasih tinggal sekolah. Mau ya, Ayu?”
Dua sisi hati Kasih berperang. Ingin kuliah. Sungguh. Tapi di sisi lain, ia ingin membahagiakan Ibu. Barangkali kalau ia bisa mencari nafkah, perempuan setengah baya itu tidak perlu lagi bekerja untuk Papi.
“Apa anak muda itu yang bikin kamu enggak mau kuliah? Kamu ingin kawin?” suara Yu Tarmi bernada cem- buru. Ia ingin Kasih menikah… tapi tidak secepat ini.
Kasih terdiam. Firasat seorang ibu kah? Hati gadis itu mengeja kejadian kemarin sore. Pemuda itu memang telah mengutarakan keinginannya kemarin, saat menjemputnya sepulang sekolah.
“Menikahlah denganku Kasih.”
Kalimat bernada memohon yang sempat membuatnya tersihir.
“Menikahlah denganku, Kasih. Kita akan hidup bahagia berdua. Gajiku cukup untuk menafkahimu.”
Kasih tersadar. Mengulang kalimat itu dalam hati. Hidup bahagia berdua. Gajiku cukup untuk menafkahimu.
Lalu siapa yang akan menafkahi Ibu yang selama ini sudah membanting tulang untuknya? Andai lelaki itu me- ngatakan ‘Gajiku cukup untuk menafkahimu dan ibumu’ tentu ia tidak akan berpikir ulang.
Detik itu Kasih tahu, ia tidak menginginkan lagi hu- bungan tersebut. Laki-laki yang sejak awal tidak menyedia- kan ruang bagi ibunya. Sore yang indah itu berakhir dengan kesedihan.
Tapi Kasih tahu keputusannya benar. Katakanlah bahkan seandainya lelaki itu mau menafkahinya dan Ibu, apa keluarganya mau berbesan dengan pelacur?
Kasih anak pelacur. Teman-teman dan gurunya tahu itu. Ia bahkan nyaris mengalami pelecehan seksual dari be
berapa lelaki, yang mengira Kasih tak beda dengan ibu- nya. Perempuan panggilan. Perempuan yang merusak rumah tangga orang, karena rumah bordil, ke sanalah para lelaki hidung belang menghabiskan uang.
Kasih anak pelacur. Ya…. Tapi suatu hari ia akan mengajak rembulannya berubah. Hidup sebagai perem- puan terhormat. Berpikir begitu, semangatnya bangkit. Ia memandang Yu Tarmi, dan berkata tegas.
“Kasih akan kerja, Bu. Kasih akan cari kerja!”
Dan gadis itu membuktikan kalimatnya. Seminggu ke- mudian Kasih mendapat pekerjaan, meski hanya sebagai operator telepon di tempat kursus kecil.
*80*
Gaji bulanannya yang pertama.
Kasih menyerahkan amplop berisi beberapa lembar lima puluh ribuan itu kepada Yu Tarmi. “Kata atasan,
kalau kerja Kasih bagus, nanti bisa di- pindah ke administrasi. Siapa tahu nanti malah bisa jadi sekretaris, Bu.”
Gadis itu tertawa kecil. Di sisinya Yu Tarmi masih ter- tegun-tegun. Sekali pandang, perempuan itu dapat me- ngira jumlah uang di dalam amplop yang tidak berapa
tebal itu.
“Kasih ingin Ibu enggak usah kerja ngoyo lagi.”
Kasih bicara. Yu Tarmi memandangi saja, tak me- motong sedikitpun.
“Nanti sebagian kita tabung, Bu.”
Perempuan itu mengangguk. Tidak tega rasanya me- ngumbar gaji Kasih yang sedikit, apalagi buat ukuran zaman sekarang.
“Siapa tahu nanti kita bisa buka warung, atau beli mesin jahit,” tambah Kasih. Di benaknya berlompatan rencana-rencana masa depan. Kasih tahu ibunya pintar menjahit. Sejak kecil sampai sekarang, baju-baju Kasih pun Ibu yang menjahit, meski menumpang mesin jahit tua milik Ceu Mumu. Hm… siapa tahu nantinya mereka malah bisa….
“Naik haji, Bu!”
Kasih tertawa. Benaknya pindah ke Mekkah dan Madinah, yang sering dilihatnya di televisi pada bulan- bulan Ramadhan. Ia dan Yu Tarmi dalam pakaian serba putih mengelilingi Ka’bah. Saat seluruh hamba terlihat sama di hadapan Gusti Allah. Tak akan ada yang mengira ibunya dulu pernah melacur. Tak akan.
Mudah-mudahan angan ini terwujud, bisik Kasih. Tak sabar untuk segera menghapus noda yang telah begitu lama melekati ibunya. Rembulannya harus bersih di hadapan Gusti Allah.
Yu Tarmi mengembangkan senyum. Menahan butiran kaca yang sejak tadi memberati pelupuk.
“Nduk?”
“Kasih ingin Ibu tak usah bekerja lagi. Biar Kasih yang menafkahi Ibu.”
Blass. Lega perasaan Kasih telah menyampaikan ke- inginannya. Biarlah mereka bersusah-susah, ngirit, hidup sesederhana mungkin. Tak jadi masalah asalkan ibu bisa berhenti dari pekerjaan yang membuat Kasih tidur tidak tenang setiap malam. Dia tidak tega membayangkan ibu yang mulai senja, masih membanting tulang dengan men- jual tubuh.
Di hadapan Kasih, Yu Tarmi mematung dengan mata merah. Batinnya terempas-empas. Hidup bersih dengan tiga ratus ribu rupiah gaji anaknya. Tega kah dia? Mem- bayangkan Kasih yang capek, makan seadanya, sehari-hari hanya memakai pakaian lama, tanpa kain baru yang dijahit- nya? Tanpa sendal baru, seprei halus, sabun wangi, beras putih terbaik, tanpa ikan ayam, tanpa………
“Kasih ingin Ibu tak usah bekerja lagi. Biar Kasih menafkahi Ibu.”
yang
Itulah keinginan sosok yang selama ini menjadi sumber kebahagiaannya. Jelas dan lugas.
Barangkali langkahnya seringan awan-awan yang menghias langit malam itu. Bibir Kasih terus mengulas senyum sejak menyerahkan gaji pada Ibu semalam. Tadi bosnya bilang, mulai bulan ini, kursus malam hari akan
diadakan. Itu berarti Kasih harus lembur. Capek memang. Tapi lelahnya juga berarti bertambahnya penghasilan.
Naik haji? Kasih tertawa kecil. Impian itu berkelebat lagi.
Ia tak menyalahkan Ibu jika dalam hati meledek, Pungguk merindukan bulan. Tapi bukankah semua cita-cita harus muluk?
Kasih tersenyum. Kakinya selincah anak rusa, me- lompati satu dua got kecil menuju gang ke rumahnya. Sebentar lagi dilewatinya kawasan Papi Lani. Diliriknya jam pemberian Ibu.
Sudah pukul sebelas malam. Pantas.
Lampu bulat-bulat kecil membiaskan cahaya warna warni di antara hentakan musik dangdut. Beberapa karyawati Papi terlihat mojok menemani tamu di warung- warung minum dan di pinggiran gang. Wajah-wajah full make up, dengan tubuh dibalut kaos super ketat dan celana panjang atau rok di bawah pinggul.
Kasih mempercepat langkah. Mata gadis itu menyipit melihat keluar-masuk rumah-rumah, pasangan berisi yang sepuluh sampai lima belas kamar berukuran kecil. Kamar mandi umum yang dilengkapi shower dan bonus handuk kecil yang bertarif sepuluh ribuan, yang biasa dipakai berdua, sehabis kencan, mulai bergemericik.
Kehidupan malam yang sekarang jadi masa lalu buat ibunya. Itulah yang dia baca tadi pagi, sebelum berangkat
kerja. Kesungguhan yang terpancar dari kedua mata Yu Tarmi yang berkaca-kaca.
Melewati keramaian yang seperti pasar malam, Kasih melangkah lebih cepat. Tas di bahunya berayun-ayun. Tubuh Kasih yang kecil tenggelam dalam keramaian lalu lalang orang yang keluar-masuk rumah bordil. Teriakan para lelaki hidung belang, tawa keras mereka, dan celoteh genit anak buah Papi Lani yang duduk bergerombol di depan rumah-rumah yang menyewakan kamar, adalah warna yang tiap malam sempat diakrabinya.
Dulu, Ibu tidak yang tega meninggalkannya di rumah, selalu membawa Kasih kecil dan menyembunyikannya di balik punggung, ketika perempuan itu duduk menunggu tamu. Saat harus ngamar, baru Yu Tarmi menitipkan anak perempuan itu pada teman-temannya yang belum dapat pelanggan.
Dua ratus meter dari rumah.
Mata Kasih sudah memberat. Kelopak matanya yang lelah berjuang keras melawan kantuk. Gadis itu mem- percepat ayunan langkah. Tidak sulit, sebab bayangan Ibu yang kali ini menantinya di rumah, menjadi bahan bakar tersendiri, yang mengalahkan kepenatan.
Kasih terus melangkah. Alunan musik dangdut yang makin keras menyeruak dari tape besar di ruang-ruang yang menyerupai bar kecil, diantara tawa mengikik dan celoteh tak keruan.
Naluri, mungkin itu yang tiba-tiba membuat Kasih se- konyong-konyong menoleh, dan tersentak. Pendar cahaya lampu warna-warni di pojok jalan, menampilkan seraut wajah, yang tidak asing. Perempuan berbedak tebal yang duduk mengangkat sebelah kaki, dengan rokok terselip di bibir. Tatapan genit diantara desah mesra perempuan yang make up-nya paling menor itu, merayu laki-laki berbadan besar, yang menggelendot padanya.
Ibu? Kasih Nanar. Tubuhnya limbung. Dan rembulan bundar di langit, mendadak berkeping-keping di matanya.