Cinta Begitu Senja

Penulis : Asmanadia

Penerbit : ANPH

Halaman

191

Tanggal Terbit

2009

ISBN

9789791915441

Penerbit

ANPH

 

Tidak ada yang tahu, kapan persisnya Fajar mencintai Senja.

Mereka bertetangga sejak sama-sama kecil. Tak hanya itu, Fajar dan Senja bahkan selalu bersekolah di tempat yang sama, meski tidak pernah sekelas.

Fajar yang pendiam, menyadari perhatiannya yang berlebih terhadap gadis berkuncir dua yang tinggal di se- belah rumah. Berkali-kali, Fajar yang saat itu masih kelas lima SD, tanpa lelah mengembalikan bola bekel nakal milik Senja yang meloncat ke luar halaman. Setiap kali Senja me- lirik pohon jambu yang berbuah, maka dengan tangkas Fajar segera memanjat dan menghadiahi gadis kecil itu se- kantung jambu manis. Begitu banyak kali-kali lain, kesem- patan mencuri perhatian Senja, yang tidak pernah dilewat- kan Fajar.

Tapi hingga mereka beranjak besar, Senja, yang setahun lebih muda, bagai tak menangkap semua sinyal dan perhatian cowok di sebelah rumahnya itu. Mungkin karena Fajar pendiam dan tak pandai bicara.

Senja seperti tak pernah tahu, betapa Fajar jatuh cinta padanya. Hanya kepada Senja, sebab tidak peduli berapa tahun berlalu atau berapa banyak gadis yang melintas, tak ada yang bisa mengubah perasaan sayang Fajar terhadap Senja.

“Bang, tidak apel? Mbak Senja kirim salam!”

Adik-adik Fajar yang lima orang dan beranjak besar, lambat-laun memahami perasaan abangnya terhadap Senja. Mereka mulai menggoda, terutama setiap malam Minggu tiba. Namun Fajar hanya menjawab dengan se- nyum tersipu dan gerakan tangan menaikkan kacamata minusnya, yang merosot lebih sering setiap nama Senja di- sebut.

Beberapa kali pula, adik-adiknya membawa satu loyang kue dan mengatakan itu titipan Senja untuknya. Tapi Fajar tahu, Mimi, Vita, Dira, Odi, dan Leon berkata begitu hanya untuk menyenangkan hati abang mereka saja.

Dan sekalipun waktu telah membentuknya menjadi pemuda tampan yang cerdas, Fajar tidak pernah cukup punya keberanian untuk menyatakan perasaannya pada Senja. Padahal cukup banyak gadis di kampus yang terang- terangan memberikan lampu hijau. Tapi lampu merah dari Senja yang diam-diam, diharapnya berubah warna.

Kenapa Senja seperti tak pernah peduli? Berulang kali Fajar bertanya pada dirinya sendiri. Mustahil Senja tak bisa menangkap perhatian berlimpah dari lelaki itu, tidak hanya kepada dia, tapi juga keluarga gadis itu.

“Jar… Fajar!”

Teriakan panik Senja suatu malam, disertai ketukan berkali-kali, membuat Fajar melompat dari tempat tidur dan tergesa-gesa membukakan pintu.

Wajah Senja yang resah, menyita penuh perhatiannya. Baru belakangan rona merah jambu di paras Senja me- nyadarkan Fajar akan kain sarungnya yang tak karuan.

Permintaan maaf akan penampilannya yang beranta- kan, dan penyesalan kenapa ia tidak tidur lebih rapi tadi, tak pernah terucap. Senja yang pucat dan bibirnya yang bergerak-gerak tak teratur, menyadarkan Fajar akan hal buruk yang terjadi.

“Papa, Jar! Papa sakit kondisinya betul-betul buruk.

Kalau bisa….”

Tanpa menunggu kalimat Senja selesai, Fajar sudah meraih SIM-nya, dan berpesan pada adik-adiknya yang terbangun, agar menjaga Ibu. Laki-laki itu sendiri yang menyetir Mercy milik keluarga Senja. Untuk pertama kali itulah mereka duduk bersisian dalam satu mobil. Mama gadis itu memeluk Papa yang kelihatan susah bernapas, di kursi belakang.

“Cepat sedikit, Fajar.”

Kegelisahan Senja menghilangkan kantuk lelaki itu. Jalan gelap di hadapan, tak mencegah Fajar untuk mener- bangkan mobil secepat mungkin.

“Berdoa, Senja. Doa.”

Ia berharap bisa menggenggam tangan Senja yang mungil, dan mengalirkan ketenangan. Namun kenyataan- nya, hanya kalimat itu yang ia ucapkan. Selebihnya Fajar sibuk mendengarkan celoteh Senja yang meminta maaf berkali-kali karena telah merepotkan.

Alhamdulillah, malam itu Papa Senja cepat mendapat pertolongan. Dokter meminta laki-laki paruh baya itu di- rawat beberapa hari. Tanpa persiapan memadai, Fajar harus kembali mengantarkan gadis itu pulang, untuk membawa pakaian dan berbagai keperluan.

Nak Fajar!”

“Mama bisa menjaga Papa. Makasih ya, Lembut suara Mama Senja, terdengar seperti restu yang menyejukkan telinga. Hati Fajar bungah. Angannya melesat ke udara seperti nasib bola golf yang dilambung- kan stik pemain profesional.

Tapi, hanya sepekan setelah kejadian itu, Fajar merasa dirinya kembali dilupakan. Penyebabnya adalah Senja yang dilihatnya jalan berdua dengan pria berwajah indo. Senyum cerah gadis itu ketika keduanya berbicara, dan bintang di mata Senja, betul-betul membuat hati Fajar

remuk.

Ia tak pernah merasa sesedih hari itu.

“Paspormu sudah siap?”

Ragu, Senja mengangguk. Gadis pintar tersebut men- dapat beasiswa untuk meneruskan kuliahnya di Jepang. Kesempatan emas, kata Mama. Kesempatan yang membuat iri orang tua lain.

Usia Senja 24 tahun, dan hari itu untuk nya ia tahu, dirinya dan Fajar tak berjodoh!

pertama kali-

Perjaka tampan dan baik hati di rumah sebelah, ter- nyata tak pernah menganggap Senja istimewa. Kesadaran yang datang terlambat setelah tahun-tahun penantian yang panjang. Kamar di hati yang tak pernah dibukanya untuk orang lain.

Wajar, jika belakangan gadis manis itu menyambut malam dengan air mata. Sungguh, ia menyesali hari per- tama dalam masa kanak-kanaknya, di mana ia merasa yakin memiliki tempat khusus di hati Fajar.

Nyatanya? Sampai sekarang Fajar tak pernah sekalipun mengungkapkan perasaannya. Mungkin karena memang tidak ada.

Air mata gadis itu mengendap-endap di pelupuk. Kalau memang tak ada hati, kenapa Fajar selalu ringan tangan dan siap membantunya kapan saja? Bola bekel yang sengaja digulirkannya ke luar halaman, selalu kembali karena Fajar.

“Mungkin saja Fajar memang pas di depan rumah, Senja. Jangan sedih.”

Senja mengangguk. Hidungnya sudah dari tadi merah. Direbahkannya kepala di pangkuan Mama. Mereka hanya berdua sejak Papa meninggal. Dan Fajar yang diam-diam diharapkan akan menjadi lelaki lain di rumah itu, meng- gantikan Papa, ternyata terlalu sibuk mengurusi adik-adik- nya; membiayai mereka sekolah, menanggung biaya pe- ngobatan ibunya yang sakit-sakitan, memastikan semua biaya rumah terpenuhi, dan seabrek kewajiban lainnya.

Kacamata lelaki tampan itu makin tebal saja. Sejujur- nya Senja tak pernah keberatan menempati urutan terakhir dalam prioritas Fajar. Meski di keluarga ia adalah anak tunggal yang keinginannya selalu terpenuhi. Kecuali satu, ia tak pernah mendapatkan Fajar. Tak hanya itu, mulai hari ini ia akan berpisah dengan satu-satunya sosok yang men- curi hatinya.

Senja menarik napas dalam. Barangkali di mata lelaki itu, Senja seperti adik-adiknya yang lain. Mungkin itu sebabnya Fajar tak pernah membalas salam, atau bahkan berterima kasih, atas kue yang susah-payah dikirimkannya. “Senja, sudah siap? Nanti terlambat ke Bandara, sayang!”

Senja bangkit. Mencium tangan Mama, dan melirik sekilas ke arah rumah Fajar yang terdengar ramai. Mungkin ada yang ulang tahun. Memorinya kembali di- tarik ke masa silam: Fajar yang tak pernah melupakan upacara sederhana untuk Mimi, Vita, Dira, Odi, dan Leon. Mereka adalah adik-adik paling beruntung di dunia. Mungkin termasuk dia, sebab belum pernah sekalipun le-

laki itu lupa menitipkan kado untuknya. Adik-adiknya dengan suka cita mengantarkannya pada Senja. Dulu, dikiranya itu cinta.

Angin menerbangkan waktu, secepat daun-daun jatuh dari ranting pohon. Waktu meniup usia muda. Tidak ter- kecuali bagi Fajar dan Senja.

Tiga puluh tahun berselang, sejak Fajar patah hati pada Senja, begitupun sebaliknya. Dan di sinilah, di beranda rumah Fajar, keduanya duduk bersisian meng- hadap jalanan depan rumah. Satu sore yang paling damai dalam hati keduanya, Fajar, si perjaka tampan, dan Senja, si anak tunggal yang manis. Mereka kini jauh dari muda. “Apa kabar, Fajar?”

Laki-laki itu tak langsung menjawab. Ia berdehem be- berapa kali dan memperbaiki kacamatanya yang mendadak turun lebih sering. Sekitar mereka sepi. Adik-adiknya yang lima orang, sudah sejak lama berkeluarga dan meninggal- kan rumah.

“Baik, Senja. Bagaimana anak-anakmu?”

Kedua mata Senja yang telah dikelilingi banyak kerutan, terangkat ke atas. Berbinar. Anaknya dua, buah pernikahannya dengan dosennya di Jepang. Lelaki baik hati, namun tak pernah cukup dicintai Senja. Bahkan

hingga suaminya itu kembali ke pangkuan Tuhan beberapa tahun lalu.

“Mereka baik. Tadi sempat pamitan padaku, meng- antar neneknya belanja”

Fajar mengangguk mafhum. Meski ia tak memiliki anak. Dan itu karena tak pernah letih menunggu Senja. “Mereka cantik-cantik,”

Sepertimu…, kata yang terakhir hanya bermain di benak Fajar.

Tuhan… Sampai kapanpun ia tak kuasa menatap mata Senja, dan menyampaikan begitu banyak pujian untuk gadis itu. Cintanya. Cintanya satu-satunya. Apalagi mengucapkan cinta.

“Soal yang kemarin itu, seriuskah ?”

Lelaki itu terkesiap. Ia merasa perutnya keram. Pen- didikan di luarkah yang membuat Senja tak malu bertanya langsung ke pokok masalah?

Tadi malam Fajar memang membuat keputusan besar dalam hidupnya. Ia nekat. Setelah tahun-tahun meletihkan itu, ia akhirnya berani bicara.

“Kita menikah, Senja. Bagaimana?”

Keberanian yang mengejutkan Senja. Perempuan itu baru sehari sampai di Jakarta. Bepuluh tahun ia menemani suaminya mengajar dari satu universitas ke universitas lain di berbagai negara. Hanya sesekali ia pulang ke tanah air.

Sedang Fajar, dulu buru-buru memutus harapan ketika melihat cincin bermata satu melingkari jari manis Senja.

Tapi tadi malam, entah kekuatan dari mana. Ia pastilah kelihatan linglung di mata Senja ketika tiba-tiba mengucap- kan kalimat itu tanpa tedeng aling-aling: mengajak Senja menikah!

Di sampingnya, Senja tersenyum. Menatapnya lurus, menyisakan ruang nol bagi lelaki itu untuk bersembunyi. Fajar tahu, ia tak bisa lagi menghindar.

“Tentu. Kita menikah, Senja. Itu jika kau setuju.”

Senja terpana. Fajar telah membuat kemajuan luar biasa rupanya dalam hidup. Kemana sayang, cinta? Kata- kata rayuan yang seharusnya mengawali kalimat keramat

itu?

Tapi sejujurnya, kalimat itu telah membuat dadanya bergejolak. Ia sama sekali tidak keberatan. Setelah di- telepon tadi malam, dirinya dipenuhi keriangan yang di- kiranya hanya milik orang muda. Anak-anaknya se- malaman menggoda, membuatnya tersipu. Inilah ke- bahagiaan itu. Nyata. Bukan mimpi.

Di dekatnya, Fajar tersenyum tulus. Penuh cinta. Lelaki yang pelipisnya sudah memutih itu siap menumpahkan se- mua perasaannya ketika Senja tiba-tiba menarik senyumnya.

Ada yang melintas di benak perempuan itu dan ter- amat mengganggunya. Pikiran itu. Kenapa baru sekarang Fajar mengatakannya? Senja tak pernah menyesali per- nikahan dan anak-anaknya. Dia juga tak pernah berpikiran seperti sebagian orang, berandai-andai bisa mengubah sejarah. Tidak! Dia tak mau begitu. Hanya saja, Fajar

harusnya melakukan ini sejak dulu, dan menghemat energi, kerinduan yang selama ini terkuras. Cinta yang diam-diam disimpannya!

“Kenapa baru mengatakannya sekarang?”

Pertanyaan itu meluncur dari mulut Senja. Dan Fajar sama sekali tidak siap. Ia mengira Senja hanya akan men- jawab ya atau tidak. Setelah itu semuanya akan selesai.

Fajar gelisah. Menit-menit berlalu dan Senja masih belum beranjak menatapnya.

“Jawablah, Jar!”

Seandainya boleh, Fajar ingin menghindar dan me- ngembalikan duduk permasalahan pada jawaban Senja. Ia tak sanggup menceritakan semua penantian. Energi yang terkuras habis dan melemahkan otot serta semua syaraf di tubuhnya. Cintanya yang tak kesampaian.

Jadi apa pentingnya? Kenapa mengungkit masa lalu? Tapi Senja menunggu dalam hening dan tak hendak bertanya apapun. Gigih, menuntut jawaban.

“Aku memang bodoh, Senja. Tapi orang bodoh ini kini tahu bagaimana bersikap. Bukannya aku tiba-tiba me- ngajakmu menikah. Hanya saja….”

Senja menatapnya dengan mata yang sulit diselami. “Aku begitu mencintaimu, Senja. Sungguh! Sejak dulu, tak ada gadis lain.”

Alis Senja terangkat.

“Jadi itu benar?”

“Ya, aku begitu mencintaimu. Sungguh menyakitkan tidak bisa bersama orang yang kita cintai.”

Senja merasa dadanya sesak. Usia menyisakan penyakit jantung untuknya. Dan debaran karena masalah ini, nyaris-nyaris tak mampu ditanggungnya.

“Kenapa tidak dari dulu dikatakan?”

Kenapa tidak dari dulu?

Fajar terhenyak. Ia hanya mengatakan cinta, kenapa tiba-tiba harus mendapatkan penyerangan seperti ini?

“Apakah… ada bedanya?” ucapnya membela diri.

Beberapa saat senyap. Hanya butiran bening dari mata Senja yang menjawab. Fajar merasa dirinya mendapat anu- gerah.

“Jadi selama ini…,” lelaki berusia lima puluhan itu susah-payah menyelesaikan kalimatnya, “jadi selama ini kau mencintaiku?”

Senja mengangguk. Matanya basah. Dari jauh suara azan Asar terdengar. Senja ingin sekali lari dan rebah dalam sujud. Tuhan, apa maksud-Mu dengan ini semua?

“Kenapa tak pernah bilang, Senja?”

Kenapa ia tak pernah bilang?

Pertanyaan Fajar mengusik kemarahan dalam diri Senja. Kenapa pula ia yang harus bilang? Kenapa bukan lelaki itu?

“Aku perempuan! Itu sebabnya!” suara Senja men- dadak keras, “perempuan bukan tempat yang terbuka dalam membicarakan perasaan!”

“Kenapa tidak?”

Suara Fajar yang sekonyong-konyong tak kalah keras, mengagetkan Senja. Belum pernah ia mendengar Fajar bicara seperti itu. Tidak padanya, atau adik-adiknya yang lima Tidak pernah, selama sejarah pertemanan orang. mereka yang panjang.

“Perasaan milik siapa saja, Senja! Bukan kewajiban bagi laki-laki mengungkapkan perasaannya. Harusnya perempuan lebih peka soal ini.”

“Peka? Jadi maksudmu aku tidak peka? Tidak sensitif? Begitu?”

“Bukan begitu, maksudku……..”

“Aku tahu maksudmu, sensitivitas itu milik perem- puan. Dan keberanian yang harusnya milik laki-laki men- jadi tumpul, sebab ketidaksensitifan perempuan!”

“Senja, kenapa jadi rumit begini?”

Fajar tak mengerti. Harusnya sore ini sempurna dan memberikan keindahan pada keduanya. Jawaban atas pe- nantian berpuluh tahun. Harusnya perempuan yang di- cintainya bisa mengerti dan tidak salah paham.

“Kenapa harus aku yang mengerti? Kenapa bukan laki-laki berusaha lebih pengertian? Kenapa harus perempuan yang selalu dianggap salah paham?”

yang

Fajar tak mengerti kenapa Senja bereaksi sekeras itu. Senja pun tak mengerti bagaimana bisa lelaki yang dipuja- nya melakukan kebodohan begitu rupa.

Dulu ia memaafkan, karena dia pikir Fajar memang

tidak mencintainya. Tapi mengetahui kenyataan lelaki itu begitu mencintainya, namun hanya menyimpan dan mem- biarkan Senja membuat keputusan besar dalam keputus- asaan, adalah hal yang tidak bisa dimaafkan! Tapi…. Senja merasa terbentur pada tembok keras. Fajar cintanya. Cuma Fajar.

Mereka saling tatap. Saling menyelami cinta begitu besar, yang membayang di mata keduanya.

“Senja, jawablah….”

Suara itu tulus, penuh permohonan. Padahal dua orang yang mencintai tak sepatutnya memohon. Seharus- nya mereka sudah saling mengerti hanya dengan menatap.

Senja memejamkan mata. Membiarkan sunyi mem- biaskan tahun-tahunnya yang pucat tanpa warna. Harinya yang tanpa rasa. Cinta teramat besar.

Pelan perempuan itu mengangkat dagunya. Tersentak oleh keasingan yang diucapkannya sendiri,

“Sesuatu yang terlambat, mungkin memang tidak perlu dimulai!”

Fajar tersentak. Menatap Senja tak percaya. Dan sunyi kemudian membungkus langkah-langkah Senja, dalam bayang yang kian mengabur di mata Fajar.

Update Cerpen

Pesan Buku Cinta Begitu Senja